Koas sudah berjalan 9 bulan. Kalau orang hamil, masa-masa
ini adalah saat menanti persalinan. Baru saja kami menyelesaikan stase obsgyn
yang konon merupakan stase yang menjadi momok di dunia per-koas-an. Mengapa
momok? Cari tahu sendiri yaa.. Yang jelas, kami bersyukur sudah melewati stase
ini dengan ‘wow’..
3 minggu sebelum obsgyn selesai..
Aku berinisiatif ingin travelling keluar Jogja saat liburan
nanti. Nginep. Bersama teman-teman. Setelah sebelumnya rencanaku ingin
menghadiri nikahan sahabat batal karena tidak diizinkan Bapak. Maka akupun
memutar otak untuk menjadikan liburan ini berkualitas. Entahlah, saat itu
rasanya otakku berada di titik jenuh sehingga perlu refreshing CITO!.
Akupun menyampaikan niatan itu ke teman-teman. Tanggapannya
bermacam-macam, ada yang menjadikannya gojekan (walaupun sebenarnya mau), ada
yang sudah punya planning liburan ke tempat lain, ada yang lagi bokek, dll.
Akhirnya, terpilihlah 3 orang dari kelompokku yang siap untuk berangkat.
Mengingat perjalannan ke Bromo akan lebih hemat jika banyak orang, maka salah
satu temanku mengajak temannya yang lain. Alhamdulillah bisa terkumpul >5
orang, namun baru bisa berangkat kamis. Kamipun setuju.
4 hari sebelum keberangkatan..
Aku baru saja diberi tahu jika temannya temanku tidak bisa
ikut, karena ada keperluan yang tidak bisa ditinggal. Sedih sekali rasanya saat
itu, karena kemungkinan berangkat hanya dengan 3 orang semakin kecil. Husnul,
temanku, yang konon sudah bertanya kesana kemari tentang perjalanan ke Bromo
meyakinkan kami bahwa biaya yang dikeluarkan akan sangat membengkak jika cuma
bertiga. Perdebatan dan negosiasi semakin alot sampai H-2 dan belum mencapai
kata sepakat. Yang kami pikirkan adalah penginapan dan transportasi ke Bromo.
Untuk menghemat biaya, kami sebaiknya menggunakan kendaraan umum (Bison) dari
Probolinggo-Bromo. Namun, jikapun nanti kami telah selesai dari Bromo saat sore
hari (karena kami rencananya tidak ingin melihat sunrise) maka tidak ada Bison
yang kembali ke Probolinggo pada waktu itu. Oleh karena itu, kami harus mencari
penginapan disana dan akan mengeluarkan biaya lagi. Opsi lainnya jika tidak
ingin memakai kendaraan umum dan tidak ingin menginap disana, maka kami harus
menyewa mobil. Harganyapun juga akan sama membengkak. Sebuah dilema yang kami
perdebatkan. Akupun berinisiatif mengajak Diah yang saat ini sedang ada di
Probolinggo untuk bisa memberikan kami tumpangan saat disana. Awalnya, Diah
tidak jadi ikut kami karena ingin ke Jember. Namun ternyata ada perubahan
rencana. Saat tahu kamu berniat ingin kesana, diapun membatakan rencananya yang
lain untuk ke Malang dan bersedia menampung kami. Karena sudah berempat,
kamipun kembali bernego. Tapi tetap saja uang yang dibutuhkan >500 ribu.
Malam itupun aku menyerah. Tidak apa-apalah tidak berangkat..
Keesokan paginya, Diah kembali membuka obrolan, apakah kami
jadi berangkat atau tidak? Entahlah, mungkin dia belum paham tentang keputusan
kami semalam. Akupun sebenarnya sangat menyayangkan, rencana yang kami buat
dari jauh-jauh hari mendadak tidak jadi hanya karena masalah finansial. Wahyu,
yang semangatnya sama besar denganku untuk pergi, juga menyayangkan hal ini.
Akhirnya, kami membuka obrolan kembali di grup untuk memperjuangkan
keberangkatan walaupun dengan finansial yang membengkak. Namun, husnul tetap
masih keberatan, karena budgetnya cuma 500 ribu. Akupun mungkin lebih keberatan
daripada dia, karena hanya mengandalkan uang dari uang bulanan yang dikirimi
orang tua. Oya, ternyata dia tidak tahu kalau ada kereta Jogja-Probolinggo
Rp.50.000,00. Sepengetahuannya, kesana hanya bisa lewat bus
Jogja-Surabaya-Probolinggo yang harganya >100.000,00. Setelah tahu, iapun
agak melunak. Capek juga sebenarnya berdebat. Atas saran Wahyu, lebih baik
langsung ke stasiun untuk membeli tiket kereta, harapannya agar jadi berangkat,
tak banyak berdebat lagi. Finally, tiket sudah di tangan, untuk keberangkatan
besok, hari kamis pukul 08.50. Nekat !
Sepulang dari stasiun, kami kumpul di rumah Wahyu untuk
membicarakan perihal keberangkatan. Kami juga baru dapat kabar dari Diah bahwa
kakaknya yang tinggal di Probolinggo yang akan membayar sewa mobil kami ke
Bromo, tetapi uang jeepnya kami bertiga saja yang bayar. Alhamdulillah.
Keesokan paginya..
Aku sudah berada di Stasiun Lempuyangan pukul 08.20 dan
setengah jam lagi kereta berangkat. KA.Logawa berangkat dari Purwokerto dan
oleh sebab itu kami tidak boleh telat. Sambil menunggu, akupun sarapan nasi
kuning yang tadi sekalian dibeli saat hendak berangkat. Oya, dari Stasiun ini
aku berangkat dengan Wahyu saja, sedangkan Husnul berangkat dari Solo karena
sedang ada keperluan disana.
08.35. Wahyu belum juga datang. Tidak ada kabar dari Line.
Nasiku yang masih tersisa tidak aku habiskan karena perasaanku yang tidak enak.
Entahlah. Saat ini tiket Wahyu ada di tanganku.
08.40. kereta Logawa tiba. Wahyu belum datang. Akupun semakin
khawatir. Biasanya kereta cuma berhenti 5 menit. Saat di tempat pengecekan
tiket, aku bingung harus bagaimana. Ingin aku titipkan saja tiket Wahyu kepada
petugas agar nanti saat ia datang aku tidak perlu mengantarkannya lagi. Namun
beliau menolak. Dengan langkah gontai aku menuju kereta dan duduk ke kursi. Pikirku,
biarlah nanti Wahyu menyusul kami dengan
bis saja, karena untuk hari itu kereta ke Probolinggo hanya sekali. Atau,
kemungkiann terburuknya, Wahyu tidak jadi ikut kami. Pikiranku sudah aneh-aneh
saja. Selang 2 menit kemudian, ada Line dari Wahyu kalau dia sudah di stasiun.
Sontak akupun langsung lari menghampirinya ke tempat pengecekan tiket. Ada rasa
malu rasanya saat berlari. Tidak melihat ke kanan kiri, akupun diteriaki oleh
calon penumpang yang sedang menunggu kereta selanjutnya, “ayo..ayoo”.
Whateverlah. Akhirnya, tiket sudah sampai dan kami segera kembali ke kereta
lewat gerbong yang terdekat untuk antisipasi jika kereta langsung berangkat dan
untuk menghindari orang-orang yang tadi meneriakiku. Gerbong kami terletak di
bagian paling belakang. Aku jadi teringat film ‘5 cm’ yang saat itu juga nyaris
ketinggalan kereta. Hanya saja, kami tidak sampai kereta yang sudah berjalan. Lima
menit kemudian, keretapun berangkat..
Di Kereta..
Meskipun kelas ekonomi dan hanya membayar Rp.50.000,00,
fasilitas kereta ini lumayan memuaskan. BerAC, bersih, tertib, toilet nyaman, dan tidak ada
lagi pedagang asongan yang berjualan. Sepertinya PT. KAI banar-benar
melaksanakan komitmennya untuk menjadikan alat transportasi ini menjadi nyaman
untuk digunakan masyarakat. Perjalanan Jogja-Probolinggo ditempuh selama 8 jam.
Kami tiba saat maghrib dan langsung dijemput oleh keluarga Diah.
Goes to Bromo
Jam 7.00 kami mulai berangkat dengan mobil sewaan. Hari agak
berawan pagi itu. Doaku, semoga langit hari ini biru dan pemandangan disana tidak
tertutup kabut. Probolinggo-Bromo ditempuh dalam waktu 1 jam. Oya, saat itu
kami belum memesan jeep untuk keliling Bromo, karena mobil biasa tidak
diperkenankan untuk memasuki area (mungkin karena medan yang sulit). Untunglah,
Mas Feri, driver kami ternyata memiliki relasi jeep dan harganyapun cukup wajar.
Akhirnya, setibanya disana kami langsung dijemput jeep.
Perjalanan beberapa kilo sebelum Bromo sudah disambut dengan
rentetan bukit-bukit dan tanaman perkebunan khas dataran tinggi. Jalannyapun menanjak-berkelok
yang jika dibandingkan dengan Dieng masih lebih sempit disini. Masyarakat
sekitar didominasi beragama hindu, sehingga agak sulit menemukan
masjid/mushola. Sesampainya di pos pemberhentian, kami sudah disambut jeep dan
langsung berpindah mobil.
Memasuki kawasan Bromo, kami begitu terpukau. Selama ini
tempat ini hanya kami lihat di buku/internet/media lain, tetapi hari ini kami
berada disini. Bukannya lebay, tapi saat memasuki lokasi, kami disambut dengan
lapangan pasir yang luas, hamparan bunga berwarna kuning & ungu, padang
rumput yang menghijau, kabut halus nan lembut, dan bukit dan gunung yang
mengelilingi kami. Sebuah dunia lain seperti surga yang Allah berikan untuk
dunia.
Lokasi pertama kami adalah Savana+Bukit Teletubbies.
Salah satu keuntungan bepergian di musim hujan adalah saat
semuanya menghijau, khususnya tempat ini. Di bukit seberangnya, saat musim
panas kemarin sempat terbakar. Bersyukurnya kami masih bisa menikmati momen ini.
Setelah dari bukit teletubbies, kami menyempatkan diri untuk
berhenti dan berfoto di hamparan bunga yang berwarna kuning dan ungu (tidak
tahu apa namanya). Karena lokasi ini sebenarnya bukan lokasi tujuan resmi dan
bahkan jeep berhenti di tengah jalan, jadi kami tidak bisa berlama-lama disini.
Foto yang diambilpun tidak maksimal.
|
Padang Bunga.. So beautiful! Masya Allah |
Lokasi Kedua, Pasir Berbisik
Disebut pasir berbisik karena saat ada angin dan kita
meletakkan telinga didekat pasir, maka akan terdengar suara seperti orang
berbisik. Sebenarnya tidak ada apa-apa disini, hanya saja view untuk berfoto
dengan background gunung tanpa lebih bagus. Karena kemarin malam di lokasi ini
hujan, maka pasir cenderung minim untuk menghasilkan debu.
Lokasi Ketiga, Kawah Bromo
Jeep hanya berhenti di tempat yang sudah disediakan dan
tidak bisa mendekat ke kawah. Padahal jaraknya cukup jauh dan menanjak. Kami hanya
diberi waktu ±1 jam untuk kembali lagi ke tempat jeep. Waktu yang sangat
singkat dan membuat kami bergegas. Sebelu kami keluar dari jeep, tukang kuda
sudah menawari kami untuk naik kesana. PP 100 ribu. Kami tahu tidak mungkin
untuk naik kuda, karena budget kami tidak dianggarkan untuk itu. Akhirnya,
tukang kuda itu terus mengikuti kami walaupun kami terus berjalan, hingga harga
diturunkan PP 70 ribu atau pergi saja 30 ribu. Melihat medan yang tampaknya
begitu terjal akhirnya aku dan Diah terpengaruh untuk naik kuda saat pergi saja.
Dan heeii, ternyata naik kuda tak seperti yang aku bayangkan. Perlu keseimbangan
ekstra dan harus dalam kondisi rileks.
|
Otw kawah with Ucil (nama kuda) |
Dan sesampainya di ujung tangga kawah,
aku berpikir ternyata pilihanku naik kuda adalah pilihan yang tepat. Wahyu yang
memilih tidak naik kuda, benar-benar ngos-ngosan. Belum lagi kami harus menaiki
anak tangga yang curam untuk mencapai kawah. Kawah Bromo seperti kawah gunung
pada umumnya. Bau belerang yang khas menyelimuti kami. Disana juga ada bapak
penjual edelweiss dan tanaman gunung lainnya. Kami tahu saat itu adalah waktu
kami untuk seharusnya tiba di lokasi lagi. Tapi apa daya kami tidak sanggup
untuk mempercepatnya, dan untunglah drivernya tidak marah.
|
Kawah Gunung Bromo |
Air Terjun Madakaripura
Selepas dari Bromo, kami melanjutkan ke air terjun yang
lokasinya tidak jauh dari sana. Awalnya kami agak khawatir ke tempat ini,
karena semalam hujan dan rawan longsor. Namun, karena saat ini tidak hujan,
akhirnya kami memberanikan diri kesana. Sesampinya di parkiran, kami disambut
bapak penjual jas hujan karena disana kami pasti akan basah-basahan. Untunglah,
aku sudah membawa jas hujan dari Jogja. Memasuki
lokasi, kami harus berjalan ±1 km. Awalnya ada pemandu yang menawarkan diri
untuk membantu dengan upah Rp 50ribu, namun kami menolak. Tetapi saat kami
berjalan ada pemandu lain yang otomatis saja langsung menemani kami dan pada
akhirnya banyak membantu kami sepanjang perjalanan.
Kami melewati jalan setapak yang memang khusus dibuat untuk
pengunjung. Perjalanan kami ditemani arus sungai sepanjang jalan dan diapit
ngarai yang curam di kiri dan kanan. Sampai pada suatu tempat dimana kami harus
memakai jas hujan karena melewati jalan satu-satunya yang dihujani air terjun
kecil. Baru kali ini aku melihat air terjun seperti ini. Saat itu saja, rasanya
semua beban di pundak hilang. Begitupun teman-temanku. Bahagia sekali tampaknya.
Kami sempatkan untuk berfoto sebentar disana.
Selanjutnya, kami menuju air terjun utama. Air terjun berada
di balik bukit batu, jadi harus melewati batu-batu yang curam untuk menuju
kesana. Akupun tidak berani untuk berjalan sendiri karena saat itu memakai rok
dan disebelahnya adalah arus sungai yang deras dan dalam. Tergelincir sedikit,
fatal sekali akibatnya. Daaaaan, masya Allah, air terjun ini adalah terbesar
yang pernah aku lihat. Air terjun Grojogan Sewu pun masih kalah. Kami hanya
bisa berfoto dan tidak bisa berenang karena arusnya sangat deras dan dalam.
Surga dunia kedua yang aku lihat hari ini.
|
Air Terjun Madakaripura |
Saat perjalanan pulang, Wahyu dan Husnul kembali mengajak
kami untuk ke Malang. Sebelumnya, saat di kereta, melanjutkan perjalanan ke
Malang adalah ideku, karena hanya selangkah lagi kesana. Namun, saat kami
diskusikan lagi semalam, karena pertimbangan waktu, biaya, weekend, dan macet,
maka rencana ke tempat ini dibatalkan. Tujuan kami adalah Jatim Park di daerah
Batu. Daaan, sore ini rencana itu kembali dibahas. Kendala kami saat ini yang
sebenarnya adalah waktu, karena hari senin kami sudah memulai aktivitas koas di
Wonogori. Maka, akan sangat wasting time jika memakai kendaraan umum yang notabene
lebih murah. Maka, kami bernegosiasi dengan mas Feri untuk harga sewa mobil ke
Malang dan akhirnya sampai di titik kesepakatan. Besok fix ke Malang! Sesampainya
di Probolinggo, kami langsung menuju stasiun untuk membeli tiket Malang-Jogja
hari Sabtu malam, karena kami ingin mengejar waktu untuk pulang ke Wonogiri Minggu
sore. Alhamdulillah masih ada dan langsung kami beli. Tiket pulangpun sudah di
tangan.
Goes to Batu, Malang
Keesokan paginya, pukul 05.15 kami pamit dan langsung menuju
Malang. Probolinggo-Batu ditempuh dalam 2,5 jam. Rencana kami adalah Jatim Park
I saja, karena menurut yang sudah pernah kesana, butuh waktu seharian untuk
menyelesaikannya. Kami tiba pukul 08.00 dan orang-orang masih sepi. Kami sarapan
terlebih dahulu dan bersyukurnya kami, dua hari ini di perjalanan kami membawa
bekal dari rumah keluarga Diah. Karena Weekend, harga Jatim Park I Rp.
80.000,00. Ada yang satu paket dengan Museum Tubuh, Rp 100.000,00. Karena bedanya
hanya sedikit dan letaknya bersebelahan, maka kami ambil keduanya.
Memasuki Jatim Park I, kami diajak untuk mencintai budaya Indonesia,
karena terdapat miniatur rumah adat, kraton, candi, sejarah, dan lain-lain. Sebagiannya
juga berisi sains seperti halnya di Taman Pintar Yogyakarta. Semua wahana berjumlah
52. Oleh karena itu, kami tidak berlama-lama di wahana ini karena menghemat
waktu untuk bisa menikmati wahana permainan. Wahana permainan terletak di
bagian belakang. Pada dasarnya, wahana disini seperti di DuFan, namun dalam
porsi yang lebih kecil. Untuk menikmati wahana ini, dibutuhkan jumlah orang
minimal. Jadi, akan lebih baik jika beramai-ramai datang kesini. Yeah, selamat bermain!
|
Wahana Permainan Jatim Park 1 dengan latar belakang Gunung ...?? |
Saat itu sudah pukul 14.30 dan kami belum ke Museum Tubuh. Masuk
ke museum ini seperti masuk ke dalam tubuh kita sendiri. Dengan anatomi tubuh
raksasa namun tetap dalam porsi yang proporsional, museum ini mampu mengikat
hati kami. Ada 6 lantai (kalau tidak salah) dan kami naik dengan lift. Kami masuk
dari bagian mulut dan berlanjut ke bagian tubuh lain. Masing-masing bagian
memiliki satu pemandu yang menjelaskan anatomi dan fisiologinya. Sebenarnya,
ingin sekali berlama-lama namun karena kami sudah pernah mendengar teori ini (sok-sok
annya muncul) dan kami sedang mengistirahatkan otak ditambah kami agak
buru-buru jadi sepertinya agak malas
untuk mendengarkan. Sampai akhirnya pemandu tahu bahwa kami adalah koas dan
kami diperlakukan untuk segera dipercepat dan masuk ke ruang kadaver. Di akhir
perjumpaan kami, akhirnya pemandu berkata, “kalian sih terlalu cepat lulusnya..”.
iya, karena museum ini baru saja dibuka 3 bulan yang lalu dan sering digunakan
sebagai tempat studi banding mahasiswa kedokteran atau medis lainnya. Pukul 15.30
kami menuju Malang.
|
Otak raksasa @Museum Tubuh |
Di Malang, kami disambut hujan deras dan saat itu masuh
pukul 16.40. Kamipun menyempatkan mampir di Mall dan pada pukul 17.45 kami
menuju stasiun. Pukul 19.30 kereta Malioboro Express berangkat menuju
Yogyakarta. Waktu itu kami membeli tiket untuk kelas ekonomi, walaupun
sebenarnya di gerbong depan ada kelas eksekutif. Malam itu, kami tidur dengan
pulas di kereta. Aku beberapa kali naik kereta malam dan belum pernah merasakan
pulasnya tidur selain malam itu. Alhamdulillah, kami tiba di Stasiun Tugu pukul
04.00. Akhirnyaaa, liburan selesai dan siap-siap memasuki Stase Anak esok hari.
Dan siap-siap berhemat juga..
Alhamdulillaahi robbil ‘aalamiin..