Suatu hari dalam sebuah praktikum A, saya dan beberapa orang teman
menjadi asisten. Lazimnya praktikum, diawali dengan pre test. Mahasiswa dengan
nilai pre test yang diatas standar diperbolehkan untuk mengikuti praktikum hari
itu, dan sebaliknya. Setelah nilai praktikum diumumkan, seorang mahasiswa
berkata kepada teman saya, “Mas, saya lulus, tapi tadi saya nyontek. Saya
keluar aja ya Mas”. Sontak pernyataan tersebut membuat para asisten kaget.
Bagi saya dan teman-teman, kasus diatas adalah kasus langka. Kenapa? Karena selama menjadi asisten belum pernah menemukan kejujuran model seperti itu. Mengapa? Mungkin karena 2 alasan: semua peserta praktikum jujur, atau, diantara mereka ada yang nyontek tapi tidak mengaku (eh). Namun, melihat performa adek kelas saya selama ini, saya cenderung untuk percaya pada pilihan pertama.
Ada yang menarik dari sikap mahasiswa tersebut. Pertama, ia membiarkan dirinya mencontek, tapi disisi lain ia berani untuk jujur. Meskipun terdapat unsur positif, tetapi yang tetap diharapkan adalah ia jujur dari awal. Tapi husnudzan kita adalah, ia sudah bertaubat untuk tindakan pertamanya sehingga muncullah tindakan yang kedua. Wallahu’alam.
Saat membahas kata jujur, mungkin terdengar kuno, out of date, atau sekedar pelajaran kewarganegaraan anak SD. Heyyy, masih ingatkah kalian? Diantara 4 sifat wajib Rasulullah saw salah satunya adalah shiddiq. Karena kejujurannya, beliau berhasil menjadi pedagang yang sukses, yang bahkan seorang saudagar seperti Khadijah begitu takjub dan jatuh hati karenanya. Pun masih akan terus melekat di benak kita, saat media tak henti-hentinya menayangkan oknum pejabat yang merampas uang rakyat divonis sekian lama. Itu adalah salah satu bentuk kesengsaraan yang diakibatkan karena ketidakjujuran.
Berikut ini adalah sepenggal tulisan dalam buku “24 Cara Mendongkrak IPK” karya Agus M Irkham:
“Jika saja kamu nitip presensi, dan ternyata
presensi memang dijadikan salah satu dasar bagi dosen untuk memberikan
penilaian akhir, maka nilai yang anda dapat ada unsur kebohongannya. Ada unsur
haram. Padahal nilai itu akan tertulis di transkrip nilai kesarjanaan. Sedangkan
transkrip nilai biasanya dijadikan syarat penerimaan kerja. Jika transkrip yang
ada unsur kebohongannya itu anda ajukan, dan akhirnya diterima, lalu mendapat
gaji. Maka, suka tidak suka, mengakui atau tidak,
ada unsur haram dalam uang/gaji yang kamu terima.
Apalagi, jika uang itu dinafkahkan kepada anak-anak dan istrimu. Saya tidak dapat membayangkan kehidupan/keluarga seperti apa yang akan terbentuk jika ditegakkan oleh rezeki yang tidak halal. Maka berhati-hatilah. Sebagaimana kejujuran, kebohongan itu akan dimintai pertanggungjawabannya. Kalau tidak di dunia, ya di akhirat kelak .”
Apalagi, jika uang itu dinafkahkan kepada anak-anak dan istrimu. Saya tidak dapat membayangkan kehidupan/keluarga seperti apa yang akan terbentuk jika ditegakkan oleh rezeki yang tidak halal. Maka berhati-hatilah. Sebagaimana kejujuran, kebohongan itu akan dimintai pertanggungjawabannya. Kalau tidak di dunia, ya di akhirat kelak .”
Wallahu’alam..
Poin presensi diatas
mungkin bisa kita analogikan dengan nilai ujian atau tes-tes lain yang memang
berkontribusi besar dalam menaikkan IPK. Teman-teman pembaca bisa menarik
kesimpulan sendiri. Yang jelas, rahmat Allah akan diberikan pada orang yang
senantiasa melakukan sesuatu karena lillaahi ta’ala, lurus dalam koridorNya.
Jangan khawatir akan mendapat nilai kecil, toh kita akan merasakan kepuasaan
yang lebih besar jika itu hasil kerja
keras kita sendiri, berapapun hasilnya. Jika saat ini nilaimu tidak sesuai yang
diharapkan, mungkin rahmat Allah akan datang dalam waktu yang lain, misal:
kesuksesan di dunia kerja. Atau, datang dalam bentuk yang lain, misal: kamu
dikaruniai kesehatan. Bahkan malah, karena kejujuranmu, nilaimu bisa lebih
tinggi daripada yang lain. Kenapa? Karena hak prerogatif Allah untuk menolong
orang yang dirahmatiNya. Jadi jangan takut sengsara karena jujur ya Sob, coz Allah
is always by your side.. J
Fastabiqul Khairat !
Fastabiqul Khairat !