Pages

Friday, April 26, 2013

Pacaran: Sejuta Kerugian, Nol Manfaat



           Kiblat saat ini sudah berubah. Kiblat yang saya maksudkan saat ini bukan kiblat untuk sholat, tetapi kiblat ideologi. Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat khususnya di negara maju, maka secara tidak langsung berimbas terhadap pola pikir masyarakat negara berkembang bahwa negara tersebutlah yang dijadikan acuan secara mutlak. Tidak hanya untuk bidang teknologi, ilmu pengetahuan, ekonomi, ataupun bidang lainnya, tetapi terhadap hal-yang batiniah yang terlahir dalam tampilan fisik, seperti cara berpakaian dan pergaulan antar lawan jenis. Pergaulan antar lawan jenis yang sangat ditonjolkan disini adalah budaya pacaran.
            Pacaran ternyata memiliki definisi yang seragam di kalangan masyarakat. Selama ini menurut hemat saya, kata ‘pacaran’ merupakan bahasa gaul yang secara alamiah tercipta seiring dengan maraknya budaya ini. Ternyata, kata pacaran sudah dibakukan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Menurut KBBI, ‘pacaran’ adalah bercintaan atau berkasih-kasih. Kata ini diambil dari kata ‘pacar’ yang artinya teman lawan jenis yang tetap dan mempunyai hubungan berdasarkan cinta kasih kekasih. Anehnya, dalam definisi ini tidak jelas apakah hubungan ini terjadi sebelum menikah atau setelah menikah. Hal ini mengingatkan saya pada buku karangan Salim A Fillah, ‘Indahnya Pacaran Setelah Pernikahan’. Semakin menegaskan kalau pacaran tidak hanya dilakukan sebelum menikah. Namun, bukanlah masalah redaksional yang akan saya bahas disini tetapi sejauh mana pacaran itu berimbas terhadap seseorang.
            Sebelum melangkah lebih jauh, saya akan mengacu kepada pedoman hidup seorang muslim, yaitu Al-Qur’an dan Sunnah. Dalam Surah Al Israa’ ayat 32 Allah SWT berfirman:
Artinya: Dan janganlah kamu mendekati Zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.
Menurut Ibnu Katsir dalam tafsirnya, ayat ini menjelaskan larangan Allah kepada hambanya untuk tidak melakukan zina dan tidak mendekati sebab-sebab dan pendorongnya. Sedangkan menurut Asy-syaikh As-Sa’di ayat ini lebih mengarah kepada larangan mendekati zina daripada larangan melakukan zina. Hal ini dikarenakan larangan mendekati zina mencakup larangan terhadap semua hal yang dapat mengantarkan kepada perbuatan zina tersebut. Hal-hal yang dapat mengantarkan seseorang kepada zina diantaranya adalah memandang wanita yang tidak halal baginya, menyentuh wanita yang bukan mahramnya, berkhalwat (berduaan) di tempat sepi, dan pacaran.
Selain di dalam Al-Qur’an, fenomena pacaran juga banyak disinggung dalam hadits-hadits. Diantaranya dalam sebuah hadits, “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka jangan sekali-kali dia berkhalwat dengan seorang wanita tanpa disertai mahramnya, karena setan akan menyertai keduanya.” (HR. Ath Thabrani). Dalam hadits lain juga disebutkan, Dari Abu Hurairah r.a bahwa Rasulullah saw bersabda,  “Telah ditulis bagi setiap Bani Adam bagiannya dari zina, pasti dia akan melakukannya, kedua mata zinanya adalah memandang, kedua telinga zinanya adalah mendengar, lidah (lisan) zinanya adalah berbicara, tangan zinanya adalah memegang, kaki zinanya adalah melangkah, sementara kalbu berkeinginan dan berangan-angan, maka kemaluanlah yang membenarkan atau mendustakan.”(HR. Bukhari dan Muslim).
Dari ayat dan kedua hadits diatas telah jelas bahwa fenomena pacaran (dalam hal ini pacaran sebelum menikah) sangat bertolak belakang dengan aturan yang telah disyari’atkan islam. ‘Rindu’ atau hasrat ingin selalu bertemu sebagai hal yang paling ringan yang dialami pada orang yang pacaran saja sudah menggambarkan zina hati. Apalagi bagian yang paling ekstrim yang dialami orang pacaran yaitu zina (na’udzubillah), merupakan hal yang keji dan dilaknat Allah SWT.  Jadi, dapat disimpulkan bahwa pacaran dengan intensitas seringan apapun sudah tidak dibenarkan oleh islam.
Logika manusia harusnya mengikuti aturan yang telah disyari’atkan Allah dan Rasul-Nya. Dibawah ini akan saya paparkan beberapa kerugian pacaran menurut logika berpikir yang pada akhirnya sangat membenarkan ajaran islam yang mulia. Walaupun banyak orang disana yang membolehkan pacaran ‘islami’ dengan aktivitas yang syar’i. Wallahu’alam. Namun saya yakin, seorang muslim itu tidak boleh abu-abu. Harus jelas mana yang hitam dan mana yang putih. Kebenaranpun pasti tidak akan pernah bercampur dengan kebatilan.
Pertama, pacaran akan menguras pikiran dan dzikir seseorang kepada Allah SWT. Kita bisa menganalogikan, seseorang yang mempunyai banyak anak dengan seseorang yang mempunyai satu anak, manakah yang lebih banyak fokus pikirannya? Tentulah orang yang memiliki banyak anak konsentrasinya akan lebih banyak terpecah dibandingkan dengan yang hanya memiliki satu anak. Terlepas dari hal-hal lain yang menjadi pikiran atau stressor seseorang, kita dapat membayangkan bagaimana porsi pacaran dalam peta pikiran. Ia tidak hanya menyangkut diri satu orang, namun juga menyangkut orang lain (pacarnya), bahkan bisa sampai melibatkan orang ketiga dan masyarakat. Dalam pikirannya adalah bagaimana cara membahagiakan pacarnya, apa yang sedang dilakukannya, apakah ia mengkhianati saya, bagaimana pandangan masyarakat, dan lain-lain. Pikiran-pikiran tersebut mengambil porsi yang cukup besar dalam pikiran seseorang.
Jika sudah demikian, yang dikhawatirkan adalah bagaimanakah porsi pikirannya untuk Allah? Apakah ia mengkhawatirkan Allah seperti yang ia khawatirkan terhadap pacarnya? Bukankah Allah adalah yang harus paling ia cintai dalam tingkatan cinta? Jika sudah ada pacar yang lebih dulu ia pikirkan daripada Allah, maka jadilah ia orang yang paling dicintai melebihi-Nya. Allah itu pencemburu. Maka, jadilah ia seseorang yang menduakan Allah dan mengundang kecemburuan-Nya. Memang fitrah manusia adalah lebih meyakini yang tampak daripada yang tidak tampak. Namun, iman yang bersemayam dalam hatilah yang akan membuat kita mencintai Allah lebih dari apapun. Jadi, sangat besar kerugian dan kesia-siaan orang yang memikirkan pacar yang saat ini statusnya bukan siapa-siapa baginya.
Kedua, pacaran meningkatkan risiko untuk terjadinya zina. Seperti yang disebutkan sebelumnya, perilaku pacaran yang paling minimal adalah rindu. Walaupun terpisah oleh jarak dan tidak ada alat komunikasi, secara naluriah rasa ini tetap terjadi. Terutama bagi mereka yang mendeklarasikan diri melakukan pacaran islami, mungkin yang biasanya dilakukan adalah hanya mengobrol via SMS atau telepon. Namun, sebelumnya pasti telah didahului oleh pernyataan, “saya menyukaimu” yang merupakan kalimat pembuka sahnya ikatan ini. Selanjutnya, jika sudah suka sama suka, maka hal apapun bisa dilakukan.
Penelitian yang dilakukan oleh Rony dan Siti pada tahun 2008 dengan judul Pengaruh Pacaran terhadap Perilaku Seks Pranikah didapatkan hasil bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara pacaran dan perilaku seksual pranikah. Hal ini menunjukkan besarnya kemungkinan terjadinya zina pada saat pacaran. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Indrati pada tahun 2011 dengan judul Perilaku Pacaran Remaja di Resosialisasi Argorejo Sunan Kuning Semarang didapatkan hasil bahwa pacaran mengarah pada perilaku kissing, necking, petting, dan intercourse. Tentu saja hal ini sangat miris. Walaupun penelitian dilakukan hanya di populasi tertentu namun dapat menjadi gambaran bagi perilaku pacaran sekarang ini.
Jauh sebelum hal-hal memiriskan tersebut terjadi, pada saat seseorang sedang jatuh cinta ada mekanisme fisiologis yang bekerja pada tubuh seseorang. Di sinilah hormon berperan penting. Saat seseorang jatuh cinta, hormon dopamin meningkat sehingga menyebabkan sifat adiktif dan membuat seseorang ingin selalu bertemu dengan kekasihnya. Selain itu, hormon endorfin juga meningkat. Hormon ini sifatnya sama dengan morfin sehingga memberikan rasa bahagia. Hormon adrenalin juga meningkat sehingga dapat meningkatkan denyut jantung dan menurunkan nafsu makan.
Hormon-hormon yang memberikan rasa nyaman ini akan berkolaborasi yang pada akhirnya dapat menyebabkan seseorang melakukan orgasme (hubungan seksual). Bagi pasangan suami istri, proses ini dapat meningkatkan keharmonisan. Sebaliknya, bagi yang belum menikah, proses ini harus diminimalisir agar tidak menjadi malapetaka. Disinilah islam mengatur rambu-rambunya. Allah SWT berfirman dalam Surat An-Nuur ayat 30:
Artinya : “Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat”. (QS. An Nuur : 30)
            Dalam sebuah hadits dari ‘Abdullah bin Buraidah, dari ayahnya, ia berkata:“Rasulullah SAW berkata kepada ‘Ali :’Hai Ali, janganlah ikuti pandangan pertama dengan pandangan kedua. Karena pandangan pertama untukmu (dimaafkan) dan pandangan kedua tidak untukmu (tidak dimaafkan)”(HR. Abu Dawud).
            Allah SWT dan Rasulnya telah mengingatkan sejak awal untuk menjaga pandangan karena menurut sebagian ulama salaf pandangan mata merupakan panah beracun yang mengincar hati. Dalam tafsir Ibnu Katsir disebutkan bahwa pandangan mata merupakan pendorong ke arah zina sehingga Allah SWT kembali mengingatkan pada kalimat berikutnya untuk senantiasa menjaga kemaluan agar tidak terjadi hal tersebut. Oleh karena itu, bagi seseorang yang telah dihinggapi gejolak cinta, hendaknya menahan dirinya (dengan menjaga kemaluannya) atau segera menikah. Sebagaimana sabda Rasulullah saw, "Wahai pemuda! Bila diantaramu sudah mampu menikah hendaklah ia nikah, karena mata akan lebih terjaga, kemaluan akan lebih terpelihara." (HR. Bukhari dan Muslim dari Ibnu Mas'ud).
Ketiga, pacaran dapat menghabiskan waktu, biaya, dan harapan. Jika rasa rindu telah datang, berapakah lama waktu yang dihabiskan untuk menelepon, sms, atau mengobrol berdua? Alangkah baiknya jika waktu yang disia-siakan tersebut dapat digunakan untuk hal-hal yang bermanfaat, seperti belajar, membaca, berorganisasi, atau sekadar menyalurkan hobi. Begitupun dengan biaya yang dikeluarkan untuk menelepon, sms, mentraktir, atau jalan-jalan. Uang tersebut dapat dialokasikan untuk diinfakkan atau menyantuni anak yatim. Selain itu, pacaran juga dapat menghabiskan harapan. Berapa banyak orang yang pacaran bertahun-tahun namun pada akhirnya tidak sampai ke jenjang pernikahan. Harapan yang selama ini diidam-idamkan untuk menjadi suami atau istrinya ternyata harus kandas di tengah jalan. Pada akhirnya, yang tertinggal adalah kesia-siaan dan memori yang sulit dilupakan.
Keempat, pacaran dapat mengganggu keharmonisan dalam hubungan bermasyarakat. Bagi masyarakat perkotaan yang sifat individualismenya cukup tinggi, perilaku pacaran seperti berpegangan tangan di tempat umum atau di tempat keramaian sudah merupakan hal lumrah. Namun, bagi masyarakat yang tinggal di pedesaan atau masyarakat dengan tenggang rasa yang tinggi atau lingkungan yang religius, perilaku pacaran di tempat umum dianggap sangat merisihkan. Pasangan yang pacaran tersebut dapat di cap negatif dan dapat berimbas kepada nama baik keluarga yang bersangkutan. 
Meskipun sebagian kerugian-kerugian telah banyak dipaparkan diatas namun masih banyak orang yang beranggapan bahwa pacaran membawa banyak manfaat. Dari penelitian yang dilakukan oleh Rahayu tahun 2011 yang meneliti tentang perspektif pacaran pada mahasiswa islam FISIP UNS, dari 12 responden hanya 2 orang yang tidak menyetujui pacaran. 10 orang menyetujui pacaran dengan alasan banyak hal positif yang didapatkan yaitu sebagai motivasi, tempat curhat, menghilangkan stres, dan lain-lain. Sedangkan 2 orang yang tidak menyetujui pacaran karena pacaran tidak disyari’atkan dalam ajaran islam. Sebuah gambaran yang sangat miris terhadap pergaulan saat ini.
Namun, bagaimanapun bentuknya manfaat pacaran yang mereka rasakan jika tidak diridhoi Allah maka semuanya akan sia-sia. Manfaat yang dirasakan hanya sebagai angin yang hanya berhembus sebentar, setelah itu pergi menghilang. Hubungan yang dilandasi pelanggaran terhadap syari’at Allah tidak akan dinaungi keberkahan. Pacaran tampak terasa manis bagi manusia tetapi tidak bagi Allah. Bagaimanapun, orientasi penilaian kita adalah Allah, bukan diri kita sendiri atau orang lain. Oleh karena itu, semua bentuk manfaat yang ada dinilai nol dalam pandangan Allah karena terhapus oleh tidak adanya keberkahan. Sedangkan yang banyak adalah kerugian. Wallahu’alam.




Sunday, April 21, 2013

Sekelumit Kisah di Bandara: Waktu Sholat


Di Bandara..
Saat itu masih beberapa menit kurang dari jam 12. Di dalam mushola yang terletak di luar gate, aku melihat seorang ibu sudah siap dengan mukenanya untuk melaksanakan sholat dzuhur. Dari percakapan sebelumnya, sepertinya beliau juga ingin menjamak sholat ashar. Akupun langsung bilang, “Ibu, waktu sholat dzhuhur pukul 12.08”. Sebelumnya aku memang mengetahui jadwal itu yang tertera di Al Qur’an yang aku bawa. Sontak, aku kaget saat ibu itu menjawab, “ya, kan ga apa-apa sholat duluan, kan kita mau menjamak”. Aku yg ilmu agamanya masih cetek ini (semoga Allah memudahkan pemahaman yg lebih baik & banyak) sangat yakin bahwa salah satu syarat sahnya waktu sholat adalah jika sudah masuk waktunya. Kembali ku tegaskan, mungkin ibu ini belum paham yang aku maksudkan, “masih belum masuk waktunya, Bu. Nanti pukul 12.08 masuk waktu dzuhurnya”.  Dan ibu itupun kembali menjawab dengan alasan yang sama. Setelah itu aku tidak begitu memperhatikan lagi yang dilakukan beliau berikutnya. Aku bersiap-siap untuk pindah ke dalam gate karena keberangkatan pesawat pukul 12.30.,
Di pintu mushola di dalam gate..
ada seorang ibu yang mengantri bersamaku untuk masuk ke dalam mushola. Melihat ada beberapa orang yang sudah sholat di dalam (yang saat itu masih belum waktunya), aku bertatapan dengan ibu tersebut. Spontan aku langsung bilang, “dzhuhurnya pukul 12.08 Bu”. Beliaupun bilang, “gapapa Mba, kan mau berangkat”. Ku ulangi sekali lagi, mungkin aku kurang mendengar atau sebaliknya. “Waktu dzhuhur pukul 12.08, Bu”. Beliau menjawab, “Oo, gitu ya mba”. Agak sedikit plong mendengarnya. Tetapi saat sudah berada di dalam, beliaupun langsung sholat. Akupun hanya terdiam.

Ada beberapa kemungkinan yang terjadi disini. Pertama, karena ibu yang saya ajak bicara tadi belum paham tentang ilmunya. Kedua, orang yang sudah banyak sholat duluan tadi tidak tahu waktu sholat. Ketiga, sudah tau ilmunya dan menyegerakan sholat karena memang sengaja terdesak waktu untuk keberangkatan. Sebuah tulisan saya copas dari www.buletin-alilmu.com menyebutkan bahwa sholat saat masuk waktunya merupakan salah satu syarat sah sholat. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman (yang artinya):“Sesungguhnya shalat itu merupakan kewajiban yang ditetapkan waktunya bagi kaum mukminin.” (An-Nisa`: 103) Dalam hadits Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam banyak sekali dalil tentang permasalahan ini. Kaum muslimin pun sepakat bahwa shalat yang dikerjakan sebelum masuk waktunya tidak sah. Bila seseorang shalat sebelum waktunya dengan sengaja maka shalatnya batil dan ia berdosa. Namun bila tidak sengaja, dalam arti ia mengira telah masuk waktu shalat padahal belum, maka ia tidak berdosa. Shalatnya tersebut teranggap shalat nafilah (shalat sunnah), namun ia wajib mengulangi shalat tersebut setelah masuk waktunya. (Asy-Syarhul Mumti’ 1/398).

Wallahu’alam bish shawab.




Wednesday, February 13, 2013

Cinta yang Diduakan

Kajian Rabu Sore (KRS) CMIA, 28 September 2012
Pembicara           : Ustadz Natsir Harits, Lc., MA.

“Dan diantara manusia ada orang yang menyembah tuhan selain Allah sebagai tandingan, yang mereka cintai seperti mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat besar cintanya kepada Allah...” (Q.S. Al-Baqarah 165)
                Ayat diatas menjelaskan bahwa dilarangnya manusia mencintai sesuatu seperti mencintai Allah, terlebih lagi jika melebihi cintanya kepada Allah. Ingatlah bahwa kebesaran Allah meliputi segala sesuatu. Jika kita pikirkan jagad raya yang luas ini, maka tak ada yang bisa menyamakannya dengan Allah. Ibu, bapak, mobil, harta kekayaan, dan lain-lain yang kita cintai sama sekali tidak ada apa-apanya dibandingkan Allah. Mereka semua dalam kekuasan Allah, maka apakah pantas kita mencintai mereka lebih dari mencintai Allah? Berhati-hatilah kawan, jika kita melakukannya maka kita bisa terjerumus ke dalam kesyirikan.
                Disebut ‘iman’ jika kita memperhatikan Allah dengan waktu, harta, tenaga, pikiran yang kita miliki. Lantas, mungkin kita bertanya, bagaimana bisa kita memperhatikan Allah sementara begitu banyak kegiatan yang kita kerjakan setiap hari? Bagaimana bisa kita mencintai Allah seutuhnya sementara banyak cinta yang mesti kita bagi untuk orang yang kita cintai? Bagaimana kita harus memerhatikan Allah 100 % sementara begitu banyak hal yang harus kita perhatikan di dunia ini? Caranya adalah dengan SINERGI. Allah berfirman, “Dan carilah (pahala) negeri akhirat dengan apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi...”
                Sinergi dalam artian ini adalah kita melibatkan Allah dalam segala aktivitas yang kita lakukan. Ketika kita hendak belajar, maka niatkanlah belajar karena Allah. Ketika ketika mencintai orang tua kita, maka cintailah mereka karena Allah. Ketika kita mencintai saudara kita di Palestina dan Rohingya, maka cintailah mereka karenaA Allah. Dengan begitu, cinta kepada mereka adalah bentuk cinta kita kepada Allah dengan memperhatikanNya.
                Syirik adalah kedzaliman yang sangat besar. Rasulullah saw bersabda,”Sungguh, diantara apa-apa yang aku khawatirkan diantara apa-apa yang aku khawatirkan adalah syirik kecil”. Untuk menghindarkan diri dari syirik, baik itu syirik besar maupun syirik kecil, solusinya seperti difirmankan Allah dalam Q.S. Muhammad 19: “Maka ketahuilah, bahwa tidak ada tuhan (yang patut disembah) selain Allah, dan mohonlah ampunan atas dosamu dan atas (dosa) orang-orang muknin, laki-laki dan perempuan. Dan Allah mengetahui tempat usaha dan tempat tinggalmu.”
1.    Dengan mengucapkan kalimat tahlil, Laa ilaa ha illallah (Tiada tuhan selain Allah) dengan sering membaca dan menuntut ilmu tentangnya. Ilmu ini diperlukan agar kita mengetahui pengertian makhluk agar kita bisa bersikap benar tentangnya.
2.    Jika kita terlanjur melakukan dosa (terutama dosa syirik) maka mohon ampunlah dengan beristighfar. Syirik yang tidak diampuni adalah yang sebelum kematiannya tidak beristighfar.
3.    Berdoa, karena berdoa adalah senjatanya orang beriman. Doa yang dianjurkan adalah, ”Allaahumma innaa na’udzubika min an nusyrika bika syai’aa na’lamuhu wanastaghfiruka limaa laa na’lamuhu” (Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari menyekutukan-Mu dengan sesuatu yang aku ketahui dan mohon ampun kepada-Mu dari apa yang tidak aku ketahui). 
Semoga kita selalu menjadi orang yang melakukan sesuatu karena Allah dan dilindungi dari perbuatan syirik, aaamiin..

Diabetes, What Should I Do?


Bagi seorang penderita diabetes, kehidupan yang mereka jalani tak selayaknya sebebas orang normal. Lansia, dalam hal ini adalah pemeran utama penyakit ini, memiliki konsekuensi ekstra untuk memperbaiki kehidupannya dalam kondisi yang kurang produktif. Kondisi fisiologis yang mulai menurun tidak bisa dipungkiri menjadi faktor penghalang keberhasilan terapi. Dalam alur manajemen yang harus dijalani, mereka harus mendapatkan edukasi yang komprehensif dari tenaga medis. Selain itu, pengaturan gizi yang memadai, keteraturan aktivitas fisik, dan kepatuhan minum obat juga menjadi penentu dari keberhasilan pengendalian gula darah dan pencegahan komplikasi.
            “Jika Bapak tidak ingin penyakit ini bertambah parah, Anda tidak boleh makan ini dan itu”. Kata “tidak boleh” memiliki penekanan yang kuat dalam kalimat ini. Namun, seorang dokter tidak harus mengatakannya dalam membina sambung rasa dengan pasien. Dari segi biokimia, hampir semua makanan memiliki zat-zat kimia yang beraneka ragam yang memiliki manfaat dan kerugian pada tubuh dalam kondisi tertentu. Misalnya pada pasien yang dilarang makan buah yang manis. Pada buah tersebut mengandung glukosa yang tinggi, tetapi di sisi lain juga mengandung vitamin yang penting untuk membantu metabolisme tubuh. Selain itu, kata ini juga memiliki konotasi negatif yang pada awalnya dapat memberi efek patuh. Namun, seiring berjalannya waktu, kata ini juga tidak akan berpengaruh banyak. Mengapa demikian? 
            Dalam memberikan edukasi, tenaga medis harus menggunakan prinsip pendekatan ketaatan dan pendekatan pemberian wewenang. Hal yang harus dilakukan pertama kali dalam pendekatan adalah sambung rasa yang baik. Jadi, kata “jangan makan makanan ini” sebaiknya diganti dengan “kurangi makanan ini”. Selain itu, untuk mewujudkan ketaatan pasien, dokter terlebih dahulu harus memposisikan diri bahwa dia adalah orang yang sepenuhnya dipercaya pasien untuk mengambil keputusan dalam penatalaksanaan penyakit ini. Faktanya dalam mewujudkan hal tersebut kebanyakan dokter hanya menyebutkan secara lisan dari serangkaian penatalaksanaan yang diberikan. Dalam menangani lansia, mereka kurang mempertimbangkan penurunan daya ingat yang mulai timbul. Lantas, bagaimana dengan lansia yang diinstruksikan dengan pengaturan makan, aktivitas, minum obat, waktu kontrol kembali, dan sebagainya?
            Kreativitas seorang dokter dituntut dalam hal ini. Ada berbagai macam cara untuk meningkatkan kepatuhan dari sisi internal maupun eksternal pasien itu sendiri. Dari sisi internal, dokter bisa membuat buku catatan kecil khusus yang berisi instruksi manajemen pengendalian diabetes. Akan lebih baik jika berisi checklist harian ataupun mingguan yang harus diisi dan dicantumkan tanggal untuk kembali kontrol ke doker. Tentunya seorang dokter harus menyesuaikan latar belakang pendidikan pasien yang dihadapinya. Dari sisi eksternal, keluarga berperan penting dalam menentukan tingkat kepatuhan manajemen diabetes. Pada anggota keluarga yang terbiasa untuk makan makanan yang manis, jika tidak ada kontrol dari anggota keluarga lainnya, maka penderita diabetes akan cenderung makan makanan tersebut. Oleh karena itu, seorang dokter tidak hanya memberikan edukasi kepada pasien tetapi juga kepada keluarga secara mendalam, mulai dari pola makan, aktivitas, pengaturan minum obat, kontrol ulang, dan pencegahan komplikasi. Anggota keluarga yang diutamakan adalah keluarga terdekat, baik itu suami, istri, atau anak. 
            Dalam pendekatan wewenang, yang dilakukan adalah sebaliknya. Dalam hal ini pasien harus memposisikan diri bahwa dia adalah orang yang dipercaya oleh dokter untuk mengambil keputusan sendiri dalam penanganan diabetes. Namun, sebelumnya pasien sudah dibekali oleh dokter agar siap menjalaninya.
            Setelah edukasi dilakukan dengan baik, langkah selanjutnya adalah melakukan terapi gizi medis terhadap pasien. Menurut Konsesus Pengelolaan Diabetes Mellitus di Indonesia tahun 2011, kunci keberhasilan terapi gizi medis adalah keterlibatan secara menyeluruh dari anggota tim, yaitu dokter, ahli gizi, petugas kesehatan lain, dan pasien itu sendiri. Pada prinsipnya, pasien harus mendapat asupan makanan yang seimbang dan mencukupi kalori serta gizi yang dibutuhkan. Namun dalam hal ini perlu ditekankan mengenai keteraturan makan, seperti jadwal, jenis, dan jumlah makanan, khususnya pada mereka yang menggunakan terapi obat penurun gula darah atau insulin.
            Pada realita di masyarakat banyak ditemukan lansia yang nakal dalam menjalani terapi gizi. Misalnya, lansia yang mudah tergoda dengan makanan lezat. Untuk meningkatkan kepatuhan terhadap terapi gizi ini, lagi-lagi dibutuhkan kekreatifitasan dari pasien dan anggota keluarga. Saat pasien tidak menyukai sayuran, maka cara yang harus dipikirkan adalah bagaimana agar mengolah sayur tersebut agar meningkatkan selera. Saat pasien sangat menyukai makanan dan minuman yang manis, maka yang harus dilakukan adalah mencari referensi tentang pemanis yang rendah kalori. Saat di sekitar tempat tinggal sangat sulit untuk menemukan makanan yang dianjurkan, maka yang harus dilakukan adalah mencari info tentang makanan alternatif yang komposisi gizi dan kalorinya menyerupai makanan utama. Hal yang sangat penting untuk diingat adalah bahwa lansia tidak bisa hidup sendiri. Bantuan dan semangat dari anggota keluarga dan orang-orang terdekat memberikan pengaruh yang besar dalam keberhasilan terapi.
            Selain edukasi dan terapi gizi, aktivitas fisik juga memegang peranan penting dalam pengelolaan diabetes. Penelitian menyebutkan olahraga dapat meningkatkan sensitivitas insulin sehingga dapat menurunkan kadar gula darah. Menurut Konsesus Pengendalian Diabetes di Indonesia tahun 2011, pasien dianjurkan untuk berolahraga secara teratur sebanyak tiga sampai empat kali dalam seminggu dengan durasi sekitar 30 menit. Pilihan yang dapat dilakukan adalah jalan kaki, bersepeda santai, jogging, dan berenang.
            Tidak hanya keteraturan olahraga yang dianjurkan, pasien juga dituntut untuk meningkatkan aktivitas fisik sehari-hari. Kebiasaan sedenter yang kurang bergerak seperti menonton televisi, bepergian ke tempat yang dekat dengan naik kendaraan, dan sebagainya juga harus dihindari. Agaknya, kebiasaan yang identik dengan masyarakat kota ini menjadi alasan logis banyaknya penderita diabetes di daerah urban. Bertolak belakang dengan masyarakat pedesaan yang banyak menggunakan fisik dan belum majunya perkembangan teknologi, prevalensi di daerah rural cenderung lebih sedikit. Meskipun demikian, aktivitas fisik bukanlah satu-satunya faktor risiko penyebab diabetes.
            Budaya Indonesia yang kurang berolahraga atau olahraga hanya setiap hari minggu tampaknya menjadi sesuatu yang mempengaruhi pasien diabetes. Alasan klasik tidak tercapainya target pelaksanaan latihan fisik, terutama pada masyarakat perkotaan adalah karena sibuknya pekerjaan masing-masing. Pada lansia yang sudah pensiun, sepertinya kesibukan bukan lagi menjadi alasan untuk tidak berolahraga, mengingat berakhirnya masa produktif untuk bekerja. Namun, sebetulnya apakah yang menyebabkan rutinitas olahraga pada lansia ini menjadi sangat sulit? Jawabannya multifaktorial. Tetapi alasan yang logis adalah keinginan yang kuat untuk tetap sehat.
            Keinginan untuk sehat dan bisa menikmati hidup adalah idaman setiap orang, begitupun dengan lansia yang ingin menghabiskan masa senjanya. Jika mereka memiliki tekad untuk sembuh sekuat baja, halangan yang besarpun tidak akan menjadi masalah. Mengetahui kondisi psikologis mereka yang tidak suka untuk diperintah, maka kesadaran untuk selalu berusaha mencapai kesembuhan adalah penting untuk ditanamkan. Jangan salahkan siapapun jika penyakit ini tidak terkontrol dan terjadi komplikasi. Salahkan kesadaran di dalam hati yang tidak mampu menjelmakan raga untuk memaksimalkan usaha. Tidakkah cukupkah pelaku sejarah di sekitar kita menjadi guru untuk berkaca? Ada banyak orang disana yang keluar dalam kegelapan subuh untuk jogging menelusuri aspal tanpa memakai alas kaki.
Tidak perlu mencari kolam renang atau meminjam sepeda tetangga untuk menghasilkan panas selama 30 menit. Aktivitas fisik dapat disesuaikan dengan kesanggupan dan kesegaran jasmani. Jika lansia masih relatif sehat dan sanggup untuk melakukan aktivitas yang lebih berat, maka itu akan lebih baik. Namun jika tidak sanggup, misalnya pada mereka yang memiliki penyakit penyulit lainnya, maka aktivitas dapat diganti dengan yang lebih ringan. Bahkan lansia juga dapat memanfaatkan rutinitas hariannya menjadi sesuatu untuk membuat fisiknya menjadi lebih baik. Bagi mereka yang menghabiskan hampir seluruh waktunya di rumah, maka berkebun dan membersihkan rumah merupakan kebiasaan baik untuk diterapkan. Sedangkan bagi mereka yang menghabiskan masa senjanya untuk mencari nafkah, maka setiap pekerjaan yang mereka lakukan harus bisa disiasati agar banyak bergerak.
Jika terapi gizi dan makanan sudah dilaksanakan dengan baik, maka langkah selanjutnya yang dilakukan adalah terapi farmakologis. Banyak obat anti diabetes yang menjadi pilihan dokter saat ini. Mulai dari yang harganya sekelas generik hingga yang harganya selangit. Penelitian Alvarsson dari swedia tahun 2010 menunjukkan bahwa panggunaan terapi insulin yang bagi pasien yang baru terdiagnosis diabetes memberikan efek lebih baik dibandingkan dengan pemberian Obat Hiperglikemik Oral (OHO) misalnya glibenkalamid. Tetapi, biaya yang dikeluarkan untuk penggunaan insulin jauh lebih tinggi sehingga sulit untuk diterapkan untuk pasien dengan status ekonomi menengah ke bawah. Disinilah sebenarnya kecerdasan dokter diuji. Peresepan dengan pertimbangan yang matang akan selalu memberikan manfaat kepada pasien.
Dalam perkembangan terapi farmakologis di Indonesia saat ini, medikamentosa bukanlah satu-satunya terapi yang menjadi pilihan masyarakat. Banyak terapi alternatif yang menyuguhkan iklan yang menyakinkan. Mulai dari terapi herbal hingga terapi yang berasal dari sugesti seseorang. Mulai dari hasil penelitian hingga terapi yang hingga saat ini belum terbukti kebenaranya. Semakin banyak pilihan terapi, maka masyarakat dituntut untuk semakin cermat dalam mengambil keputusan.
Sebagaimana umumnya dalam dunia ilmiah, suatu penemuan sudah bisa diaplikasikan jika telah melalui serangkaian penelitian dan uji coba pada manusia. Sang pemberi terapi juga harus mengetahui patofisiologi penyakit, farmakokinetika, dan farmakodinamika dari obat tersebut. Bagi seorang dokter, ilmu tersebut merupakan kunci dalam kamar praktik mereka. Namun, apakah semua itu sudah melekat pada mereka yang menawarkan terapi alternatif? Sebagai contoh, pada terapi tradisional. Misalnya dalam sebuah penelitian diketahui bahwa buncis dapat meningkatkan kadar insulin dengan memperbaiki pankreas yang rusak. Apakah langsung dapat diambil kesimpulan bahwa ekstrak buncis dapat menyembuhkan penyakit diabetes? Dari contoh tersebut harus dipertimbangkan dahulu patofisiologi penyakit dan pemeriksaan penunjang. Peningkatan kadar glukosa darah tidak hanya disebabkan pada kerusakan  pankreas saja, tetapi juga karena resistensi insulin. Oleh karena itu ekstrak buncis tersebut tidak dapat digunakan pada pasien diabetes dengan fase resistensi insulin  tetapi dapat digunakan pada pasien dengan kerusakan pankreas.
Terakhir, dalam manajemen pengendalian diabetes adalah pencegahan terjadinya penyulit atau komplikasi. Menurut Konsesus Pengendalian Diabetes Mellitus di Indonesia Tahun 2006, komplikasi diabetes akut adalah terjadinya hipoglikemia dan hiperglikemia ketoasidosis maupun nonketoasidosis. Sedangkan komplikasi kronis adalah terjadinya gagal ginjal, penyakit jantung koroner, stroke, ulkus diabetikum, dan lain-lain. Komplikasi terjadi jika kadar gula darah dalam tubuh tidak terkontrol, walaupun dalam perjalanannya juga terdapat pasien yang kadar gula darah terkontrol tetapi terjadi komplikasi. Hal ini dapat disebabkan karena faktor genetik dan faktor metabolik. Karena faktor genetik tidak bisa diubah, maka yang harus kita upayakan adalah mengubah faktor metabolik itu sendiri. Pasien dapat memperbaiki gula darahnya agar selalu terkontrol dengan menerapkan pola hidup seperti yang dibahas sebelumnya. Selain itu, pasien juga harus memeriksakan diri secara berkala untuk memantau perkembangan penyakitnya.
Bagi pasien yang beragama Islam, shalat dapat menjadi solusi untuk pencegahan komplikasi, terutama ulkus diabetik. Menurut Sagiran (2007), gerakan-gerakan shalat dapat melancarkan pembuluh darah di kaki. Misalnya jika terjadi sumbatan arteri utama di daerah paha, maka gerakan-gerakan sholat akan melancarkan aliran di pembuluh darah kolateral sehingga dapat menjadi jalan alternatif untuk mencukupi aliran darah di arteri utama. Dengan demikian, risiko terjadinya mikroangiopati akan lebih kecil. Selain itu, posisi sujud juga dapat memperkecil terjadinya komplikasi stroke karena adanya peningkatan debit darah ke otak sehingga dapat meningkatkan elastisitas pembuluh darah. Hal ini dapat dijadikan motivasi bagi para lansia untuk menata shalatnya dengan lebih baik demi mendekatkan diri kepada penciptanya.
Penyakit yang ditimpakan kepada manusia hendaknya dapat dijadikan introspeksi yang bisa membuka cakrawala pemikiran. Di dalam agama islam, Allah SWT berfirman, “Dan musibah apapun yang menimpa kamu adalah karena perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan banyak dari kesalahan-kesalahanmu”(Q.S. Asy Syura:30). Tidak bisa dipungkiri, diabetes terjadi karena gaya hidup yang tidak sehat. Walaupun kebanyakan dari pasien dikaruniai gen penyakit ini, namun banyak juga dari mereka yang hidup sehat. Hal ini dikarenakan antisipasi ketat yang mereka lakukan. Namun bagi pasien yang sudah mengantisipasi ketat dan tetap mengalami diabetes, itu merupakan ujian yang Allah SWT berikan kepada mereka. Di sisi lain, banyak pula pasien yang tidak diwarisi gen ini namun tetap mengalami diabetes. Penyebabnya murni karena gaya hidup yang mereka lakukan. Oleh karena itu, hendaknya mereka memohon ampunan karena penyakit yang mereka alami adalah murni dari kesalahan mereka sendiri.
Walaupun hal ini telah terjadi, Allah swt tidak begitu saja menyia-nyiakan hambaNya. Dia berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman! Mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat. Sungguh, Allah beserta orang-orang yang sabar.” (Q.S. Al Baqarah:153). Dalam menghadapi penyakitnya, manusia dianjurkan untuk bersabar. Sabar dalam hal ini dapat diartikan dalam bentuk aktif dan pasif. Sabar aktif adalah sabar yang diaplikasikan dalam bentuk perbuatan. Pasien merubah pola makannya, sering berolahraga, dan teratur minum obat adalah bentuk nyata dari sabar ini. Sedangkan sabar pasif adalah sabar dalam menata hati saat mengahadapi hal-hal yang tidak menyenangkan selama pengobatan hingga didapatkan hasil yang diharapkan. Sabar ini juga termasuk memaksimalkan doa di dalamnya.
Sebagai kesimpulan dalam manajemen diabetes pada lansia, hal yang harus diingat adalah lansia tidak bisa berjuang sendiri dalam menghadapi penyakitnya. Tenaga medis dan anggota keluarga harus menjadi penyokong yang menguatkan perjuangan mereka. Semua itu juga akan terasa lengkap jika dilakukan dalam satu rangkaian dengan pendekatan ibadah. Dengan demikian, paket manajemen ini akan memudahkan lansia dalam menjalani hari-harinya dengan kuat dan bahagia.

LAMPIRAN

Daftar Pustaka
Alvarsson M., Berntorp K., Fernqvist-Fosbes E., Lager I., Steen L., Orn T., Grill V. Effect of Insulin Versus Sulphonylurea on Beta-cell Secretion in Recently Diagnose Type 2 Diabetes Patients: A 6-year Follow-Up Study, The Review of Diabetic Study 2010; 2: 225-232.
Colberg SR., Physical Activity: the forgotten tool for type 2 diabetes management, Frontiers in Endocrynology 2012; 3: 1-6.
Departeman Agama Republik Indonesia., 2005. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Bandung: Syaamil Qur’an.
Konsesus Pengelolaan Diabetes Mellitus di Indonesia Tahun 2006.
Sagiran., 2007. Mukjizat Gerakan Shalat. Jakarta: Qultum Media.
Subekti, I. 2011. Prinsip dan Strategi Edukasi Diabetes dalam Mardani, R.A. Penatalaksanaan Diabetes Mellitus Terpadu. Jakarta: Balai Penerbit FK UI.
Waspadji, S. 2011. Diabetes Mellitus, Penyulit Kronik, dan Pencegahannya dalam Mardani, R.A. Penatalaksanaan Diabetes Mellitus Terpadu. Jakarta: Balai Penerbit FK UI.




             
            

From Palestine with Love

Pemateri             : Ustadz Supriyanto Pasir
Tanggal               : 21 Nov 2012

“Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada kaumnya, “Wahai kaumku! Ingatlah akan nikmat yang Allah kepadamu ketika Dia mengangkat nabi-nabi diantaramu, dan menjadikan kamu sebagi orang-orang merdeka, dan memberikan kepadamu apa yang belum pernah diberikan kepada seorangpun diantara umat yang lain. ‘Wahai kaumku, masuklah ke tanah suci (Palestina) yang telah ditentukan Allah bagimu, dan janganlah kamu nerbalik ke belakang (karena takut kepada mausuh), nanti kamu menjadi orang yang rugi’. Mereka berkata, ‘Wahai Musa! Sesungguhnya di dalam negeri itu ada orang-orang yang sangat kuat dan kejam, kami  dak akan memasukinya sebelum mereka keluar darinya. Jika mereka keluar dari sana, niscaya kami akan masuk’. Berkatalah dua orang laki-laki diantara mereka yang bertakwa, yang telah diberi nikmat oleh Allah, ‘serbulah mereka melaluipintu gerbang (negeri) itu. Jika kamu memasukinya niscaya kamu akan menang. Dan bertawakallah kepada kamu hanya kepada Allah, jika kamu orang-orang yang beriman’. Mereka berkata, Wahai Musa, sampai kapanpun kami tidak akan memasukinya selama merereka masih ada di dalamnya, karena itu pergilah engkau bersama Tuhanmu, dan berperanglah kamu berdua. Biarlah kami tetap (menanti) disini saja’. Dia (Musa) berkata, ‘Ya Tuhanku, aku hanya menguasai diriku sendiri dan saudaraku. Sebab itu pisahkanlah antara kami dengan orang-orang yag fasik itu’. Allah berfirman, (jika demikian), maka (negeri) itu terlarang buat mereka selama empat puluh tahun, (selama itu) mereka akan mengembara kebingungan di bumi. Maka janganlah engkau (Musa) bersedih hati (memikirkan nasib) orang-orang yang fasik itu’. (Q.S Al Ma’idah (5):20-26)”
Ayat-ayat Allah di atas cukup memberikan gambaran kepada kita akan sejarah dan sifat Bani Israil. Masih ingat kisah tentang Fir’aun dan Bani Israil? Saat dikejar Fir’aun, Bani Israil diajak Nabi Musa as ke Mesir melewati laut. Meskipun pada awalnya mereka meragukan, namun setelah melihat rombongan Fir’aun semakin dekat, akhirnya mereka ikut juga. Untuk ke Palestina sebenarnya ada jalan darat, namun sudah merupakan rencana Allah untuk melewati laut agar mereka ditenggelamkan. Sesampainya di daerah yang dekat dengan Palestina, mereka bertemu dengan orang-orang yang kejam. Penguasa Palestina saat itu adalah orang-orang Jabbaariin (orang yang mempunyai kekuatan besar, namun otoriter). Nabi Musa as menyuruh mereka untuk memeranginya namun mereka menolak. Menurut mereka, Allah dan Rasulnya sudah cukup untuk memerangi orang-orang yang kejam tersebut. Karena alasan mereka inilah akhirnya mereka tidak bisa masuk ke negeri mereka sendiri hingga 40 tahun lamanya dan menetap di Gurun Sahara. Meskipun tinggal di Gurun, atas karunia Allah mereka dikaruniakan berbagai kenikmatan, diantaranya awan yang selalu menaungi tempat tinggal mereka dan karunia berupa Manna dan Salwa.
                Namun, setelah menunggu 40 tahun, mereka akhirnya memutuskan untuk mencoba masuk ke negeri mereka lagi. Mengetahui hal ini, Nabi Musa mengingatkan agar masuk ke sana dengan tawadhu’, karena saat ini status mereka adalah sebagai pendatang. Berbeda halnya jika mereka masuk 40 tahun sebelumnya, karena saat itu mereka adalah pemilik negeri tersebut.
                Sepak terjang orang Yahudi ini juga sudah ada sejak Zaman Nabi Muhammad saw di Madinah. Sebelum masuknya islam, ada dua kaum yang selalu bermusuhan selama ratusan tahun, yaitu Suku Aus dan Suku Khazraj. Lamanya pertengkaran ini dikarenakan terdapat orang Yahudi yang bermain dan mengejar keuntungan di belakangnya, yaitu Bani Nadhir dan Bani Qainuqa. Dengan segala kelicikannya, kaum Yahudi ini menginginkan agar panen kaum Khazraj juga bisa dinikmati mereka. Selain itu, mereka juga suka mengadu domba agar kerukunan tidak pernah tercipta diantara suku Auz dan Khazraj.
                Saat Nabi Muhammad saw masuk ke Madinah, beliau menengahi pertikaian ini. Dengan menyeru untuk berpegang teguh kepada Al Qur’an dan sosok beliau yang mulia, akhirnya kedua kaum ini bisa dipersatukan. Kerukunan dan persaudaran yang kuat terjalin diantara mereka. Namun tetap saja saat masa kenabian, gangguan-gangguan dari Kaum Yahudi masih bisa membayangi. Mereka sangat membenci dan mendengki orang-orang muslim yang bersatu.  Dengan segala macam cara mereka lakukan agar kerukunan tidak terjadi. Namun, segala puji bagi Allah yang menjadikan Rasulullah untuk menengahi mereka sehingga perselisihan antara Suku Auz dan Suku Khazraj dapat dipadamkan.
                Saat ini, demi melanjutkan misinya untuk menguasai Palestina, saudara seiman kita di Gaza terus dibombardir. Peristiwa ini sebenarnya merupakan teguran bagi umat Islam. Saat negara-negara Islam tidak mengakui Palestina sebagai sebuah bangsa (bisa dikaji dalam bidang hubungan internasional), maka hanya Indonesia yang mengakuinya. Umat islam terlalu banyak mementingkan golongannya sendiri, dan lupa bahwa apapun mahzabnya, organisasinya, dan lain-lainnya, islam adalah satu. Lantas, apa yang harus kita lakukan dalam menghadapi situasi sperti ini? Allah mengajarkan kita untuk kembali kepada Al Qur’an. Maka dengan berpegang teguh kepada ajaran Al Qur’an seperti yang sudah dicontohkan oleh Rasulullah, umat islam akan bersatu. Ingatlah, janji Allah bahwa Palestina akan menang. Tapi untuk mencapai kemenangan itu diperlukan usaha dan kesabaran. Itulah tugas bagi kita, umat islam. Wallahu’alam..