Pages

Sunday, March 20, 2016

Mengasah Nurani

Waktu itu, aku dalam perjalanan di bis Jogja-Solo. Saat bis berhenti untuk mengangkut penumpang di Klaten, seseorang pria berusia 20an dengan terburu-buru menaiki bis. Melihatnya sepintas, aku yakin kalau ia bukanlah penumpang. Benar saja, ia langsung berdiri di tengah bus dan bersikap layaknya seorang pengamen. Ia berbicara yang aku yakin tidak seorangpun dari kami mengerti. sambil menepuk-nepukkan tangannya, ia masih terus bernyanyi layaknya seorang pengamen. Tidak sampai satu menit, ia pun berhenti. Kemudian ia mengulurkan gelas plastik di tangannya kepada semua penumpang. Seingatku, hampir semua penumpang tidak ada yang memberi recehan kepadanya, termasuk aku. Setelah selesai dengan tugasnya, ia menunggu tempat pemberhentian berikutnya dengan memperbaiki gorden bis pada penumpang yang terkena sinar matahari langsung. Begitupun dengan tempat dudukku. Kaget sekali waktu itu dari belakang tiba-tiba ada orang yang langsung menarik gorden sebelahku hingga lapang pandang untuk melihat ke luar jendela tertutup. Setelah bis kembali berhenti, iapun turun..

Berikutnya, di lain waktu, hampir mirip dengan kisah sebelumnya. Waktu aku dalam perjalan bis Wonogiri-Solo, seorang laki-laki berusia 30-an juga bernyanyi layaknya pengamen. Berbekal pengalaman sebelumnya, aku mengamatinya dengan cermat. Ya, ia tuna rungu seperti orang yang aku lihat sebelumnya. Hanya beberapa detik saja ia ‘seperti’ bernyayi, dan setelah itu mengulurkan gelas plastiknya. Ada yang memberi, ada yang tidak. Dan aku tidak mengulangi sikapku seperti sebelumnya. Uangku akhirnya keluar.

Kau tahu apa yang dipikirkannya, kawan?
Yap. Akupun hanya menerka. Ia bernyanyi mungkin karena mengira apa yang ia ucapkan itu sama dengan yang kita ucapkan. Ia mengcopy-paste gaya pengamen umumnya yang juga ia terapkan. Yang ia tahu, ia harus mengumpulkan uang untuk menyambung hidupnya.
Kau tahu kawan? Sejak lahir aku diasuh oleh bibiku yang seorang tuna rungu. Ia kakak ibuku, ia juga aku anggap seperti ibuku. Aku sudah terbiasa berbicara dengannya menggunakan bahasa isyarat. Tetapi bukan bahasa isyarat formal yang dapat berlaku di seluruh dunia. Melainkan bahasa isyarat yang hanya kami yang terbiasa berkomunikasi dengannya yang bisa mengerti. Entahlah, mungkin karena di daerahku belum ada lembaga khusus yang membina orang seperti beliau. Bibiku terampil dalam banyak hal. Meskipun sampai saat ini beliau belum menikah, untuk urusan rumah tangga beliau tidak ada duanya. Beliau juga mahir dalam membuat prakarya. Jika ada barang bekas, tidak heran jika nantinya disulap menjadi sesuatu yang cantik. Dulu waktu masih muda, (katanya) beliau pernah bekerja di pabrik roti. Setelah itu, setahuku belliau tidak pernah bekerja lagi. Hingga saat ini beliau dalam pemeliharaan kakek-nenekku dan adik-adiknya..

Aah, terlalu melankolis memang. Tapi, pernahkah kalian membayangkan bagaimana jika berada di posisi mereka? Dunia terasa sunyi, senyap. Ingin berbicara, tetapi orang lain tidak mengerti. Pada akhirnya, mereka menerima semua ketentuanNya dengan lapang. Menjalani hari-hari mereka sebagai bentuk kesyukuran terhadap Rabb Nya. Aah, Bibi, ingin sekali aku menceritakan tentang Rabb kita kepadaMu. Bahwa, Ia menciptakanmu bukanlah untuk sebuah kesia-siaan. Salah satunya, mungkin untuk membuatku berpikir tentang apa yang harus ku lakukan, terhadapmu, terhadap kalian..

(to be continued, insya Allah)