Waktu itu, aku dalam perjalanan di bis Jogja-Solo. Saat bis berhenti
untuk mengangkut penumpang di Klaten, seseorang pria berusia 20an dengan
terburu-buru menaiki bis. Melihatnya sepintas, aku yakin kalau ia bukanlah
penumpang. Benar saja, ia langsung berdiri di tengah bus dan bersikap layaknya
seorang pengamen. Ia berbicara yang aku yakin tidak seorangpun dari kami
mengerti. sambil menepuk-nepukkan tangannya, ia masih terus bernyanyi layaknya
seorang pengamen. Tidak sampai satu menit, ia pun berhenti. Kemudian ia
mengulurkan gelas plastik di tangannya kepada semua penumpang. Seingatku,
hampir semua penumpang tidak ada yang memberi recehan kepadanya, termasuk aku.
Setelah selesai dengan tugasnya, ia menunggu tempat pemberhentian berikutnya
dengan memperbaiki gorden bis pada penumpang yang terkena sinar matahari
langsung. Begitupun dengan tempat dudukku. Kaget sekali waktu itu dari belakang
tiba-tiba ada orang yang langsung menarik gorden sebelahku hingga lapang
pandang untuk melihat ke luar jendela tertutup. Setelah bis kembali berhenti,
iapun turun..
Berikutnya, di lain waktu, hampir mirip dengan kisah
sebelumnya. Waktu aku dalam perjalan bis Wonogiri-Solo, seorang laki-laki
berusia 30-an juga bernyanyi layaknya pengamen. Berbekal pengalaman sebelumnya,
aku mengamatinya dengan cermat. Ya, ia tuna rungu seperti orang yang aku lihat
sebelumnya. Hanya beberapa detik saja ia ‘seperti’ bernyayi, dan setelah itu
mengulurkan gelas plastiknya. Ada yang memberi, ada yang tidak. Dan aku tidak
mengulangi sikapku seperti sebelumnya. Uangku akhirnya keluar.
Kau tahu apa yang dipikirkannya, kawan?
Yap. Akupun hanya menerka. Ia bernyanyi mungkin karena
mengira apa yang ia ucapkan itu sama dengan yang kita ucapkan. Ia mengcopy-paste
gaya pengamen umumnya yang juga ia terapkan. Yang ia tahu, ia harus
mengumpulkan uang untuk menyambung hidupnya.
Kau tahu kawan? Sejak lahir aku diasuh oleh bibiku yang
seorang tuna rungu. Ia kakak ibuku, ia juga aku anggap seperti ibuku. Aku sudah
terbiasa berbicara dengannya menggunakan bahasa isyarat. Tetapi bukan bahasa
isyarat formal yang dapat berlaku di seluruh dunia. Melainkan bahasa isyarat
yang hanya kami yang terbiasa berkomunikasi dengannya yang bisa mengerti. Entahlah,
mungkin karena di daerahku belum ada lembaga khusus yang membina orang seperti
beliau. Bibiku terampil dalam banyak hal. Meskipun sampai saat ini beliau belum
menikah, untuk urusan rumah tangga beliau tidak ada duanya. Beliau juga mahir
dalam membuat prakarya. Jika ada barang bekas, tidak heran jika nantinya disulap
menjadi sesuatu yang cantik. Dulu waktu masih muda, (katanya) beliau pernah
bekerja di pabrik roti. Setelah itu, setahuku belliau tidak pernah bekerja
lagi. Hingga saat ini beliau dalam pemeliharaan kakek-nenekku dan
adik-adiknya..
Aah, terlalu melankolis memang. Tapi, pernahkah kalian membayangkan
bagaimana jika berada di posisi mereka? Dunia terasa sunyi, senyap. Ingin berbicara,
tetapi orang lain tidak mengerti. Pada akhirnya, mereka menerima semua
ketentuanNya dengan lapang. Menjalani hari-hari mereka sebagai bentuk kesyukuran
terhadap Rabb Nya. Aah, Bibi, ingin sekali aku menceritakan tentang Rabb kita
kepadaMu. Bahwa, Ia menciptakanmu bukanlah untuk sebuah kesia-siaan. Salah satunya,
mungkin untuk membuatku berpikir tentang apa yang harus ku lakukan, terhadapmu,
terhadap kalian..
(to be continued, insya Allah)