Kiblat saat ini sudah berubah.
Kiblat yang saya maksudkan saat ini bukan kiblat untuk sholat, tetapi kiblat
ideologi. Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang
sangat pesat khususnya di negara maju, maka secara tidak langsung berimbas
terhadap pola pikir masyarakat negara berkembang bahwa negara tersebutlah yang
dijadikan acuan secara mutlak. Tidak hanya untuk bidang teknologi, ilmu
pengetahuan, ekonomi, ataupun bidang lainnya, tetapi terhadap hal-yang batiniah
yang terlahir dalam tampilan fisik, seperti cara berpakaian dan pergaulan antar
lawan jenis. Pergaulan antar lawan jenis yang sangat ditonjolkan disini adalah
budaya pacaran.
Pacaran ternyata memiliki definisi
yang seragam di kalangan masyarakat. Selama ini menurut hemat saya, kata
‘pacaran’ merupakan bahasa gaul yang secara alamiah tercipta seiring dengan
maraknya budaya ini. Ternyata, kata pacaran sudah dibakukan dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI). Menurut KBBI, ‘pacaran’ adalah bercintaan atau
berkasih-kasih. Kata ini diambil dari kata ‘pacar’ yang artinya teman lawan
jenis yang tetap dan mempunyai hubungan berdasarkan cinta kasih kekasih.
Anehnya, dalam definisi ini tidak jelas apakah hubungan ini terjadi sebelum
menikah atau setelah menikah. Hal ini mengingatkan saya pada buku karangan
Salim A Fillah, ‘Indahnya Pacaran Setelah Pernikahan’. Semakin menegaskan kalau
pacaran tidak hanya dilakukan sebelum menikah. Namun, bukanlah masalah
redaksional yang akan saya bahas disini tetapi sejauh mana pacaran itu berimbas
terhadap seseorang.
Sebelum melangkah lebih jauh, saya
akan mengacu kepada pedoman hidup seorang muslim, yaitu Al-Qur’an dan Sunnah.
Dalam Surah Al Israa’ ayat 32 Allah SWT berfirman:
Artinya:
Dan janganlah kamu mendekati Zina,
sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang
buruk.
Menurut
Ibnu Katsir dalam tafsirnya, ayat ini menjelaskan larangan Allah kepada
hambanya untuk tidak melakukan zina dan tidak mendekati sebab-sebab dan pendorongnya.
Sedangkan menurut Asy-syaikh As-Sa’di ayat ini lebih mengarah kepada larangan
mendekati zina daripada larangan melakukan zina. Hal ini dikarenakan larangan
mendekati zina mencakup larangan terhadap semua hal yang dapat mengantarkan
kepada perbuatan zina tersebut. Hal-hal yang dapat mengantarkan seseorang
kepada zina diantaranya adalah memandang wanita yang tidak halal baginya,
menyentuh wanita yang bukan mahramnya, berkhalwat (berduaan) di tempat sepi,
dan pacaran.
Selain di dalam Al-Qur’an, fenomena pacaran juga banyak
disinggung dalam hadits-hadits. Diantaranya dalam sebuah hadits, “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari
akhir maka jangan sekali-kali dia berkhalwat dengan seorang wanita tanpa
disertai mahramnya, karena setan akan menyertai keduanya.” (HR. Ath Thabrani). Dalam hadits lain
juga disebutkan, ‘Dari Abu Hurairah r.a bahwa
Rasulullah saw bersabda, “Telah ditulis bagi setiap
Bani Adam bagiannya dari zina, pasti dia akan melakukannya, kedua mata zinanya
adalah memandang, kedua telinga zinanya adalah mendengar, lidah (lisan) zinanya
adalah berbicara, tangan zinanya adalah memegang, kaki zinanya adalah
melangkah, sementara kalbu berkeinginan dan berangan-angan, maka kemaluanlah
yang membenarkan atau mendustakan.”(HR. Bukhari dan Muslim).
Dari
ayat dan kedua hadits diatas telah jelas bahwa fenomena pacaran (dalam hal ini
pacaran sebelum menikah) sangat bertolak belakang dengan aturan yang telah
disyari’atkan islam. ‘Rindu’ atau hasrat ingin selalu bertemu sebagai hal yang
paling ringan yang dialami pada orang yang pacaran saja sudah menggambarkan
zina hati. Apalagi bagian yang paling ekstrim yang dialami orang pacaran yaitu
zina (na’udzubillah), merupakan hal
yang keji dan dilaknat Allah SWT. Jadi,
dapat disimpulkan bahwa pacaran dengan intensitas seringan apapun sudah tidak
dibenarkan oleh islam.
Logika
manusia harusnya mengikuti aturan yang telah disyari’atkan Allah dan Rasul-Nya.
Dibawah ini akan saya paparkan beberapa kerugian pacaran menurut logika
berpikir yang pada akhirnya sangat membenarkan ajaran islam yang mulia.
Walaupun banyak orang disana yang membolehkan pacaran ‘islami’ dengan aktivitas
yang syar’i. Wallahu’alam. Namun saya
yakin, seorang muslim itu tidak boleh abu-abu. Harus jelas mana yang hitam dan
mana yang putih. Kebenaranpun pasti tidak akan pernah bercampur dengan
kebatilan.
Pertama,
pacaran akan menguras pikiran dan dzikir seseorang kepada Allah SWT. Kita bisa
menganalogikan, seseorang yang mempunyai banyak anak dengan seseorang yang
mempunyai satu anak, manakah yang lebih banyak fokus pikirannya? Tentulah orang
yang memiliki banyak anak konsentrasinya akan lebih banyak terpecah
dibandingkan dengan yang hanya memiliki satu anak. Terlepas dari hal-hal lain
yang menjadi pikiran atau stressor seseorang, kita dapat membayangkan bagaimana
porsi pacaran dalam peta pikiran. Ia tidak hanya menyangkut diri satu orang,
namun juga menyangkut orang lain (pacarnya), bahkan bisa sampai melibatkan
orang ketiga dan masyarakat. Dalam pikirannya adalah bagaimana cara
membahagiakan pacarnya, apa yang sedang dilakukannya, apakah ia mengkhianati
saya, bagaimana pandangan masyarakat, dan lain-lain. Pikiran-pikiran tersebut
mengambil porsi yang cukup besar dalam pikiran seseorang.
Jika
sudah demikian, yang dikhawatirkan adalah bagaimanakah porsi pikirannya untuk
Allah? Apakah ia mengkhawatirkan Allah seperti yang ia khawatirkan terhadap
pacarnya? Bukankah Allah adalah yang harus
paling ia cintai dalam tingkatan cinta? Jika sudah ada pacar yang lebih dulu ia
pikirkan daripada Allah, maka jadilah ia orang yang paling dicintai melebihi-Nya.
Allah itu pencemburu. Maka, jadilah ia seseorang yang menduakan Allah dan
mengundang kecemburuan-Nya. Memang fitrah manusia adalah lebih meyakini yang
tampak daripada yang tidak tampak. Namun, iman yang bersemayam dalam hatilah
yang akan membuat kita mencintai Allah lebih dari apapun. Jadi, sangat besar
kerugian dan kesia-siaan orang yang memikirkan pacar yang saat ini statusnya
bukan siapa-siapa baginya.
Kedua, pacaran meningkatkan risiko untuk
terjadinya zina. Seperti yang disebutkan sebelumnya, perilaku pacaran yang paling
minimal adalah rindu. Walaupun terpisah oleh jarak dan tidak ada alat
komunikasi, secara naluriah rasa ini tetap terjadi. Terutama bagi mereka yang
mendeklarasikan diri melakukan pacaran islami, mungkin yang biasanya dilakukan
adalah hanya mengobrol via SMS atau telepon. Namun, sebelumnya pasti telah
didahului oleh pernyataan, “saya menyukaimu” yang merupakan kalimat pembuka
sahnya ikatan ini. Selanjutnya, jika sudah suka sama suka, maka hal apapun bisa
dilakukan.
Penelitian yang dilakukan oleh Rony dan Siti
pada tahun 2008 dengan judul Pengaruh Pacaran terhadap Perilaku Seks Pranikah
didapatkan hasil bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara pacaran dan
perilaku seksual pranikah. Hal ini menunjukkan besarnya kemungkinan terjadinya
zina pada saat pacaran. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Indrati pada
tahun 2011 dengan judul Perilaku Pacaran Remaja di Resosialisasi Argorejo Sunan
Kuning Semarang didapatkan hasil bahwa pacaran mengarah pada perilaku kissing, necking,
petting, dan intercourse. Tentu saja hal ini sangat miris. Walaupun penelitian
dilakukan hanya di populasi tertentu namun dapat menjadi gambaran bagi perilaku
pacaran sekarang ini.
Jauh sebelum hal-hal memiriskan tersebut
terjadi, pada saat seseorang sedang jatuh cinta ada mekanisme fisiologis yang
bekerja pada tubuh seseorang. Di sinilah hormon berperan penting. Saat
seseorang jatuh cinta, hormon dopamin meningkat sehingga menyebabkan sifat
adiktif dan membuat seseorang ingin selalu bertemu dengan kekasihnya. Selain
itu, hormon endorfin juga meningkat. Hormon ini sifatnya sama dengan morfin
sehingga memberikan rasa bahagia. Hormon adrenalin juga meningkat sehingga
dapat meningkatkan denyut jantung dan menurunkan nafsu makan.
Hormon-hormon yang memberikan rasa nyaman ini
akan berkolaborasi yang pada akhirnya dapat menyebabkan seseorang melakukan
orgasme (hubungan seksual). Bagi pasangan suami istri, proses ini dapat
meningkatkan keharmonisan. Sebaliknya, bagi yang belum menikah, proses ini
harus diminimalisir agar tidak menjadi malapetaka. Disinilah islam mengatur
rambu-rambunya. Allah SWT berfirman dalam Surat An-Nuur ayat 30:
Artinya
: “Katakanlah kepada orang laki-laki yang
beriman: “Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya;
yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui apa yang mereka perbuat”. (QS. An Nuur : 30)
Dalam
sebuah hadits dari ‘Abdullah bin Buraidah, dari ayahnya, ia berkata:“Rasulullah SAW
berkata kepada ‘Ali :’Hai Ali, janganlah ikuti pandangan
pertama dengan pandangan kedua. Karena pandangan pertama untukmu (dimaafkan)
dan pandangan kedua tidak untukmu (tidak dimaafkan)”(HR. Abu Dawud).
Allah SWT dan Rasulnya telah
mengingatkan sejak awal untuk menjaga pandangan karena menurut sebagian ulama
salaf pandangan mata merupakan panah beracun yang mengincar hati. Dalam tafsir
Ibnu Katsir disebutkan bahwa pandangan mata merupakan pendorong ke arah zina
sehingga Allah SWT kembali mengingatkan pada kalimat berikutnya untuk
senantiasa menjaga kemaluan agar tidak terjadi hal tersebut. Oleh karena itu,
bagi seseorang yang telah dihinggapi gejolak cinta, hendaknya menahan dirinya
(dengan menjaga kemaluannya) atau segera menikah. Sebagaimana sabda Rasulullah
saw, "Wahai
pemuda! Bila diantaramu sudah mampu menikah hendaklah ia nikah, karena mata
akan lebih terjaga, kemaluan akan lebih terpelihara." (HR. Bukhari dan
Muslim dari Ibnu Mas'ud).
Ketiga, pacaran dapat menghabiskan waktu,
biaya, dan harapan. Jika rasa rindu telah datang, berapakah lama waktu yang
dihabiskan untuk menelepon, sms, atau mengobrol berdua? Alangkah baiknya jika
waktu yang disia-siakan tersebut dapat digunakan untuk hal-hal yang bermanfaat,
seperti belajar, membaca, berorganisasi, atau sekadar menyalurkan hobi.
Begitupun dengan biaya yang dikeluarkan untuk menelepon, sms, mentraktir, atau
jalan-jalan. Uang tersebut dapat dialokasikan untuk diinfakkan atau menyantuni
anak yatim. Selain itu, pacaran juga dapat menghabiskan harapan. Berapa banyak
orang yang pacaran bertahun-tahun namun pada akhirnya tidak sampai ke jenjang
pernikahan. Harapan yang selama ini diidam-idamkan untuk menjadi suami atau
istrinya ternyata harus kandas di tengah jalan. Pada akhirnya, yang tertinggal
adalah kesia-siaan dan memori yang sulit dilupakan.
Keempat, pacaran dapat mengganggu keharmonisan
dalam hubungan bermasyarakat. Bagi masyarakat perkotaan yang sifat
individualismenya cukup tinggi, perilaku pacaran seperti berpegangan tangan di
tempat umum atau di tempat keramaian sudah merupakan hal lumrah. Namun, bagi
masyarakat yang tinggal di pedesaan atau masyarakat dengan tenggang rasa yang
tinggi atau lingkungan yang religius, perilaku pacaran di tempat umum dianggap
sangat merisihkan. Pasangan yang pacaran tersebut dapat di cap negatif dan
dapat berimbas kepada nama baik keluarga yang bersangkutan.
Meskipun sebagian kerugian-kerugian
telah banyak dipaparkan diatas namun masih banyak orang yang beranggapan bahwa
pacaran membawa banyak manfaat. Dari penelitian yang dilakukan oleh Rahayu
tahun 2011 yang meneliti tentang perspektif pacaran pada mahasiswa islam FISIP
UNS, dari 12 responden hanya 2 orang yang tidak menyetujui pacaran. 10 orang
menyetujui pacaran dengan alasan banyak hal positif yang didapatkan yaitu
sebagai motivasi, tempat curhat, menghilangkan stres, dan lain-lain. Sedangkan
2 orang yang tidak menyetujui pacaran karena pacaran tidak disyari’atkan dalam
ajaran islam. Sebuah gambaran yang sangat miris terhadap pergaulan saat ini.
Namun, bagaimanapun bentuknya
manfaat pacaran yang mereka rasakan jika tidak diridhoi Allah maka semuanya
akan sia-sia. Manfaat yang dirasakan hanya sebagai angin yang hanya berhembus
sebentar, setelah itu pergi menghilang. Hubungan yang dilandasi pelanggaran
terhadap syari’at Allah tidak akan dinaungi keberkahan. Pacaran tampak terasa
manis bagi manusia tetapi tidak bagi Allah. Bagaimanapun, orientasi penilaian
kita adalah Allah, bukan diri kita sendiri atau orang lain. Oleh karena itu, semua
bentuk manfaat yang ada dinilai nol dalam pandangan Allah karena terhapus oleh
tidak adanya keberkahan. Sedangkan yang banyak adalah kerugian. Wallahu’alam.