Pages

Friday, April 26, 2013

Pacaran: Sejuta Kerugian, Nol Manfaat



           Kiblat saat ini sudah berubah. Kiblat yang saya maksudkan saat ini bukan kiblat untuk sholat, tetapi kiblat ideologi. Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat khususnya di negara maju, maka secara tidak langsung berimbas terhadap pola pikir masyarakat negara berkembang bahwa negara tersebutlah yang dijadikan acuan secara mutlak. Tidak hanya untuk bidang teknologi, ilmu pengetahuan, ekonomi, ataupun bidang lainnya, tetapi terhadap hal-yang batiniah yang terlahir dalam tampilan fisik, seperti cara berpakaian dan pergaulan antar lawan jenis. Pergaulan antar lawan jenis yang sangat ditonjolkan disini adalah budaya pacaran.
            Pacaran ternyata memiliki definisi yang seragam di kalangan masyarakat. Selama ini menurut hemat saya, kata ‘pacaran’ merupakan bahasa gaul yang secara alamiah tercipta seiring dengan maraknya budaya ini. Ternyata, kata pacaran sudah dibakukan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Menurut KBBI, ‘pacaran’ adalah bercintaan atau berkasih-kasih. Kata ini diambil dari kata ‘pacar’ yang artinya teman lawan jenis yang tetap dan mempunyai hubungan berdasarkan cinta kasih kekasih. Anehnya, dalam definisi ini tidak jelas apakah hubungan ini terjadi sebelum menikah atau setelah menikah. Hal ini mengingatkan saya pada buku karangan Salim A Fillah, ‘Indahnya Pacaran Setelah Pernikahan’. Semakin menegaskan kalau pacaran tidak hanya dilakukan sebelum menikah. Namun, bukanlah masalah redaksional yang akan saya bahas disini tetapi sejauh mana pacaran itu berimbas terhadap seseorang.
            Sebelum melangkah lebih jauh, saya akan mengacu kepada pedoman hidup seorang muslim, yaitu Al-Qur’an dan Sunnah. Dalam Surah Al Israa’ ayat 32 Allah SWT berfirman:
Artinya: Dan janganlah kamu mendekati Zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.
Menurut Ibnu Katsir dalam tafsirnya, ayat ini menjelaskan larangan Allah kepada hambanya untuk tidak melakukan zina dan tidak mendekati sebab-sebab dan pendorongnya. Sedangkan menurut Asy-syaikh As-Sa’di ayat ini lebih mengarah kepada larangan mendekati zina daripada larangan melakukan zina. Hal ini dikarenakan larangan mendekati zina mencakup larangan terhadap semua hal yang dapat mengantarkan kepada perbuatan zina tersebut. Hal-hal yang dapat mengantarkan seseorang kepada zina diantaranya adalah memandang wanita yang tidak halal baginya, menyentuh wanita yang bukan mahramnya, berkhalwat (berduaan) di tempat sepi, dan pacaran.
Selain di dalam Al-Qur’an, fenomena pacaran juga banyak disinggung dalam hadits-hadits. Diantaranya dalam sebuah hadits, “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka jangan sekali-kali dia berkhalwat dengan seorang wanita tanpa disertai mahramnya, karena setan akan menyertai keduanya.” (HR. Ath Thabrani). Dalam hadits lain juga disebutkan, Dari Abu Hurairah r.a bahwa Rasulullah saw bersabda,  “Telah ditulis bagi setiap Bani Adam bagiannya dari zina, pasti dia akan melakukannya, kedua mata zinanya adalah memandang, kedua telinga zinanya adalah mendengar, lidah (lisan) zinanya adalah berbicara, tangan zinanya adalah memegang, kaki zinanya adalah melangkah, sementara kalbu berkeinginan dan berangan-angan, maka kemaluanlah yang membenarkan atau mendustakan.”(HR. Bukhari dan Muslim).
Dari ayat dan kedua hadits diatas telah jelas bahwa fenomena pacaran (dalam hal ini pacaran sebelum menikah) sangat bertolak belakang dengan aturan yang telah disyari’atkan islam. ‘Rindu’ atau hasrat ingin selalu bertemu sebagai hal yang paling ringan yang dialami pada orang yang pacaran saja sudah menggambarkan zina hati. Apalagi bagian yang paling ekstrim yang dialami orang pacaran yaitu zina (na’udzubillah), merupakan hal yang keji dan dilaknat Allah SWT.  Jadi, dapat disimpulkan bahwa pacaran dengan intensitas seringan apapun sudah tidak dibenarkan oleh islam.
Logika manusia harusnya mengikuti aturan yang telah disyari’atkan Allah dan Rasul-Nya. Dibawah ini akan saya paparkan beberapa kerugian pacaran menurut logika berpikir yang pada akhirnya sangat membenarkan ajaran islam yang mulia. Walaupun banyak orang disana yang membolehkan pacaran ‘islami’ dengan aktivitas yang syar’i. Wallahu’alam. Namun saya yakin, seorang muslim itu tidak boleh abu-abu. Harus jelas mana yang hitam dan mana yang putih. Kebenaranpun pasti tidak akan pernah bercampur dengan kebatilan.
Pertama, pacaran akan menguras pikiran dan dzikir seseorang kepada Allah SWT. Kita bisa menganalogikan, seseorang yang mempunyai banyak anak dengan seseorang yang mempunyai satu anak, manakah yang lebih banyak fokus pikirannya? Tentulah orang yang memiliki banyak anak konsentrasinya akan lebih banyak terpecah dibandingkan dengan yang hanya memiliki satu anak. Terlepas dari hal-hal lain yang menjadi pikiran atau stressor seseorang, kita dapat membayangkan bagaimana porsi pacaran dalam peta pikiran. Ia tidak hanya menyangkut diri satu orang, namun juga menyangkut orang lain (pacarnya), bahkan bisa sampai melibatkan orang ketiga dan masyarakat. Dalam pikirannya adalah bagaimana cara membahagiakan pacarnya, apa yang sedang dilakukannya, apakah ia mengkhianati saya, bagaimana pandangan masyarakat, dan lain-lain. Pikiran-pikiran tersebut mengambil porsi yang cukup besar dalam pikiran seseorang.
Jika sudah demikian, yang dikhawatirkan adalah bagaimanakah porsi pikirannya untuk Allah? Apakah ia mengkhawatirkan Allah seperti yang ia khawatirkan terhadap pacarnya? Bukankah Allah adalah yang harus paling ia cintai dalam tingkatan cinta? Jika sudah ada pacar yang lebih dulu ia pikirkan daripada Allah, maka jadilah ia orang yang paling dicintai melebihi-Nya. Allah itu pencemburu. Maka, jadilah ia seseorang yang menduakan Allah dan mengundang kecemburuan-Nya. Memang fitrah manusia adalah lebih meyakini yang tampak daripada yang tidak tampak. Namun, iman yang bersemayam dalam hatilah yang akan membuat kita mencintai Allah lebih dari apapun. Jadi, sangat besar kerugian dan kesia-siaan orang yang memikirkan pacar yang saat ini statusnya bukan siapa-siapa baginya.
Kedua, pacaran meningkatkan risiko untuk terjadinya zina. Seperti yang disebutkan sebelumnya, perilaku pacaran yang paling minimal adalah rindu. Walaupun terpisah oleh jarak dan tidak ada alat komunikasi, secara naluriah rasa ini tetap terjadi. Terutama bagi mereka yang mendeklarasikan diri melakukan pacaran islami, mungkin yang biasanya dilakukan adalah hanya mengobrol via SMS atau telepon. Namun, sebelumnya pasti telah didahului oleh pernyataan, “saya menyukaimu” yang merupakan kalimat pembuka sahnya ikatan ini. Selanjutnya, jika sudah suka sama suka, maka hal apapun bisa dilakukan.
Penelitian yang dilakukan oleh Rony dan Siti pada tahun 2008 dengan judul Pengaruh Pacaran terhadap Perilaku Seks Pranikah didapatkan hasil bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara pacaran dan perilaku seksual pranikah. Hal ini menunjukkan besarnya kemungkinan terjadinya zina pada saat pacaran. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Indrati pada tahun 2011 dengan judul Perilaku Pacaran Remaja di Resosialisasi Argorejo Sunan Kuning Semarang didapatkan hasil bahwa pacaran mengarah pada perilaku kissing, necking, petting, dan intercourse. Tentu saja hal ini sangat miris. Walaupun penelitian dilakukan hanya di populasi tertentu namun dapat menjadi gambaran bagi perilaku pacaran sekarang ini.
Jauh sebelum hal-hal memiriskan tersebut terjadi, pada saat seseorang sedang jatuh cinta ada mekanisme fisiologis yang bekerja pada tubuh seseorang. Di sinilah hormon berperan penting. Saat seseorang jatuh cinta, hormon dopamin meningkat sehingga menyebabkan sifat adiktif dan membuat seseorang ingin selalu bertemu dengan kekasihnya. Selain itu, hormon endorfin juga meningkat. Hormon ini sifatnya sama dengan morfin sehingga memberikan rasa bahagia. Hormon adrenalin juga meningkat sehingga dapat meningkatkan denyut jantung dan menurunkan nafsu makan.
Hormon-hormon yang memberikan rasa nyaman ini akan berkolaborasi yang pada akhirnya dapat menyebabkan seseorang melakukan orgasme (hubungan seksual). Bagi pasangan suami istri, proses ini dapat meningkatkan keharmonisan. Sebaliknya, bagi yang belum menikah, proses ini harus diminimalisir agar tidak menjadi malapetaka. Disinilah islam mengatur rambu-rambunya. Allah SWT berfirman dalam Surat An-Nuur ayat 30:
Artinya : “Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat”. (QS. An Nuur : 30)
            Dalam sebuah hadits dari ‘Abdullah bin Buraidah, dari ayahnya, ia berkata:“Rasulullah SAW berkata kepada ‘Ali :’Hai Ali, janganlah ikuti pandangan pertama dengan pandangan kedua. Karena pandangan pertama untukmu (dimaafkan) dan pandangan kedua tidak untukmu (tidak dimaafkan)”(HR. Abu Dawud).
            Allah SWT dan Rasulnya telah mengingatkan sejak awal untuk menjaga pandangan karena menurut sebagian ulama salaf pandangan mata merupakan panah beracun yang mengincar hati. Dalam tafsir Ibnu Katsir disebutkan bahwa pandangan mata merupakan pendorong ke arah zina sehingga Allah SWT kembali mengingatkan pada kalimat berikutnya untuk senantiasa menjaga kemaluan agar tidak terjadi hal tersebut. Oleh karena itu, bagi seseorang yang telah dihinggapi gejolak cinta, hendaknya menahan dirinya (dengan menjaga kemaluannya) atau segera menikah. Sebagaimana sabda Rasulullah saw, "Wahai pemuda! Bila diantaramu sudah mampu menikah hendaklah ia nikah, karena mata akan lebih terjaga, kemaluan akan lebih terpelihara." (HR. Bukhari dan Muslim dari Ibnu Mas'ud).
Ketiga, pacaran dapat menghabiskan waktu, biaya, dan harapan. Jika rasa rindu telah datang, berapakah lama waktu yang dihabiskan untuk menelepon, sms, atau mengobrol berdua? Alangkah baiknya jika waktu yang disia-siakan tersebut dapat digunakan untuk hal-hal yang bermanfaat, seperti belajar, membaca, berorganisasi, atau sekadar menyalurkan hobi. Begitupun dengan biaya yang dikeluarkan untuk menelepon, sms, mentraktir, atau jalan-jalan. Uang tersebut dapat dialokasikan untuk diinfakkan atau menyantuni anak yatim. Selain itu, pacaran juga dapat menghabiskan harapan. Berapa banyak orang yang pacaran bertahun-tahun namun pada akhirnya tidak sampai ke jenjang pernikahan. Harapan yang selama ini diidam-idamkan untuk menjadi suami atau istrinya ternyata harus kandas di tengah jalan. Pada akhirnya, yang tertinggal adalah kesia-siaan dan memori yang sulit dilupakan.
Keempat, pacaran dapat mengganggu keharmonisan dalam hubungan bermasyarakat. Bagi masyarakat perkotaan yang sifat individualismenya cukup tinggi, perilaku pacaran seperti berpegangan tangan di tempat umum atau di tempat keramaian sudah merupakan hal lumrah. Namun, bagi masyarakat yang tinggal di pedesaan atau masyarakat dengan tenggang rasa yang tinggi atau lingkungan yang religius, perilaku pacaran di tempat umum dianggap sangat merisihkan. Pasangan yang pacaran tersebut dapat di cap negatif dan dapat berimbas kepada nama baik keluarga yang bersangkutan. 
Meskipun sebagian kerugian-kerugian telah banyak dipaparkan diatas namun masih banyak orang yang beranggapan bahwa pacaran membawa banyak manfaat. Dari penelitian yang dilakukan oleh Rahayu tahun 2011 yang meneliti tentang perspektif pacaran pada mahasiswa islam FISIP UNS, dari 12 responden hanya 2 orang yang tidak menyetujui pacaran. 10 orang menyetujui pacaran dengan alasan banyak hal positif yang didapatkan yaitu sebagai motivasi, tempat curhat, menghilangkan stres, dan lain-lain. Sedangkan 2 orang yang tidak menyetujui pacaran karena pacaran tidak disyari’atkan dalam ajaran islam. Sebuah gambaran yang sangat miris terhadap pergaulan saat ini.
Namun, bagaimanapun bentuknya manfaat pacaran yang mereka rasakan jika tidak diridhoi Allah maka semuanya akan sia-sia. Manfaat yang dirasakan hanya sebagai angin yang hanya berhembus sebentar, setelah itu pergi menghilang. Hubungan yang dilandasi pelanggaran terhadap syari’at Allah tidak akan dinaungi keberkahan. Pacaran tampak terasa manis bagi manusia tetapi tidak bagi Allah. Bagaimanapun, orientasi penilaian kita adalah Allah, bukan diri kita sendiri atau orang lain. Oleh karena itu, semua bentuk manfaat yang ada dinilai nol dalam pandangan Allah karena terhapus oleh tidak adanya keberkahan. Sedangkan yang banyak adalah kerugian. Wallahu’alam.




Sunday, April 21, 2013

Sekelumit Kisah di Bandara: Waktu Sholat


Di Bandara..
Saat itu masih beberapa menit kurang dari jam 12. Di dalam mushola yang terletak di luar gate, aku melihat seorang ibu sudah siap dengan mukenanya untuk melaksanakan sholat dzuhur. Dari percakapan sebelumnya, sepertinya beliau juga ingin menjamak sholat ashar. Akupun langsung bilang, “Ibu, waktu sholat dzhuhur pukul 12.08”. Sebelumnya aku memang mengetahui jadwal itu yang tertera di Al Qur’an yang aku bawa. Sontak, aku kaget saat ibu itu menjawab, “ya, kan ga apa-apa sholat duluan, kan kita mau menjamak”. Aku yg ilmu agamanya masih cetek ini (semoga Allah memudahkan pemahaman yg lebih baik & banyak) sangat yakin bahwa salah satu syarat sahnya waktu sholat adalah jika sudah masuk waktunya. Kembali ku tegaskan, mungkin ibu ini belum paham yang aku maksudkan, “masih belum masuk waktunya, Bu. Nanti pukul 12.08 masuk waktu dzuhurnya”.  Dan ibu itupun kembali menjawab dengan alasan yang sama. Setelah itu aku tidak begitu memperhatikan lagi yang dilakukan beliau berikutnya. Aku bersiap-siap untuk pindah ke dalam gate karena keberangkatan pesawat pukul 12.30.,
Di pintu mushola di dalam gate..
ada seorang ibu yang mengantri bersamaku untuk masuk ke dalam mushola. Melihat ada beberapa orang yang sudah sholat di dalam (yang saat itu masih belum waktunya), aku bertatapan dengan ibu tersebut. Spontan aku langsung bilang, “dzhuhurnya pukul 12.08 Bu”. Beliaupun bilang, “gapapa Mba, kan mau berangkat”. Ku ulangi sekali lagi, mungkin aku kurang mendengar atau sebaliknya. “Waktu dzhuhur pukul 12.08, Bu”. Beliau menjawab, “Oo, gitu ya mba”. Agak sedikit plong mendengarnya. Tetapi saat sudah berada di dalam, beliaupun langsung sholat. Akupun hanya terdiam.

Ada beberapa kemungkinan yang terjadi disini. Pertama, karena ibu yang saya ajak bicara tadi belum paham tentang ilmunya. Kedua, orang yang sudah banyak sholat duluan tadi tidak tahu waktu sholat. Ketiga, sudah tau ilmunya dan menyegerakan sholat karena memang sengaja terdesak waktu untuk keberangkatan. Sebuah tulisan saya copas dari www.buletin-alilmu.com menyebutkan bahwa sholat saat masuk waktunya merupakan salah satu syarat sah sholat. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman (yang artinya):“Sesungguhnya shalat itu merupakan kewajiban yang ditetapkan waktunya bagi kaum mukminin.” (An-Nisa`: 103) Dalam hadits Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam banyak sekali dalil tentang permasalahan ini. Kaum muslimin pun sepakat bahwa shalat yang dikerjakan sebelum masuk waktunya tidak sah. Bila seseorang shalat sebelum waktunya dengan sengaja maka shalatnya batil dan ia berdosa. Namun bila tidak sengaja, dalam arti ia mengira telah masuk waktu shalat padahal belum, maka ia tidak berdosa. Shalatnya tersebut teranggap shalat nafilah (shalat sunnah), namun ia wajib mengulangi shalat tersebut setelah masuk waktunya. (Asy-Syarhul Mumti’ 1/398).

Wallahu’alam bish shawab.