Pages

Saturday, April 4, 2015

Co-Ass's Holiday

Koas sudah berjalan 9 bulan. Kalau orang hamil, masa-masa ini adalah saat menanti persalinan. Baru saja kami menyelesaikan stase obsgyn yang konon merupakan stase yang menjadi momok di dunia per-koas-an. Mengapa momok? Cari tahu sendiri yaa.. Yang jelas, kami bersyukur sudah melewati stase ini dengan ‘wow’..

3 minggu sebelum obsgyn selesai..
Aku berinisiatif ingin travelling keluar Jogja saat liburan nanti. Nginep. Bersama teman-teman. Setelah sebelumnya rencanaku ingin menghadiri nikahan sahabat batal karena tidak diizinkan Bapak. Maka akupun memutar otak untuk menjadikan liburan ini berkualitas. Entahlah, saat itu rasanya otakku berada di titik jenuh sehingga perlu refreshing CITO!.
Akupun menyampaikan niatan itu ke teman-teman. Tanggapannya bermacam-macam, ada yang menjadikannya gojekan (walaupun sebenarnya mau), ada yang sudah punya planning liburan ke tempat lain, ada yang lagi bokek, dll. Akhirnya, terpilihlah 3 orang dari kelompokku yang siap untuk berangkat. Mengingat perjalannan ke Bromo akan lebih hemat jika banyak orang, maka salah satu temanku mengajak temannya yang lain. Alhamdulillah bisa terkumpul >5 orang, namun baru bisa berangkat kamis. Kamipun setuju.

4 hari sebelum keberangkatan..
Aku baru saja diberi tahu jika temannya temanku tidak bisa ikut, karena ada keperluan yang tidak bisa ditinggal. Sedih sekali rasanya saat itu, karena kemungkinan berangkat hanya dengan 3 orang semakin kecil. Husnul, temanku, yang konon sudah bertanya kesana kemari tentang perjalanan ke Bromo meyakinkan kami bahwa biaya yang dikeluarkan akan sangat membengkak jika cuma bertiga. Perdebatan dan negosiasi semakin alot sampai H-2 dan belum mencapai kata sepakat. Yang kami pikirkan adalah penginapan dan transportasi ke Bromo. Untuk menghemat biaya, kami sebaiknya menggunakan kendaraan umum (Bison) dari Probolinggo-Bromo. Namun, jikapun nanti kami telah selesai dari Bromo saat sore hari (karena kami rencananya tidak ingin melihat sunrise) maka tidak ada Bison yang kembali ke Probolinggo pada waktu itu. Oleh karena itu, kami harus mencari penginapan disana dan akan mengeluarkan biaya lagi. Opsi lainnya jika tidak ingin memakai kendaraan umum dan tidak ingin menginap disana, maka kami harus menyewa mobil. Harganyapun juga akan sama membengkak. Sebuah dilema yang kami perdebatkan. Akupun berinisiatif mengajak Diah yang saat ini sedang ada di Probolinggo untuk bisa memberikan kami tumpangan saat disana. Awalnya, Diah tidak jadi ikut kami karena ingin ke Jember. Namun ternyata ada perubahan rencana. Saat tahu kamu berniat ingin kesana, diapun membatakan rencananya yang lain untuk ke Malang dan bersedia menampung kami. Karena sudah berempat, kamipun kembali bernego. Tapi tetap saja uang yang dibutuhkan >500 ribu. Malam itupun aku menyerah. Tidak apa-apalah tidak berangkat..
Keesokan paginya, Diah kembali membuka obrolan, apakah kami jadi berangkat atau tidak? Entahlah, mungkin dia belum paham tentang keputusan kami semalam. Akupun sebenarnya sangat menyayangkan, rencana yang kami buat dari jauh-jauh hari mendadak tidak jadi hanya karena masalah finansial. Wahyu, yang semangatnya sama besar denganku untuk pergi, juga menyayangkan hal ini. Akhirnya, kami membuka obrolan kembali di grup untuk memperjuangkan keberangkatan walaupun dengan finansial yang membengkak. Namun, husnul tetap masih keberatan, karena budgetnya cuma 500 ribu. Akupun mungkin lebih keberatan daripada dia, karena hanya mengandalkan uang dari uang bulanan yang dikirimi orang tua. Oya, ternyata dia tidak tahu kalau ada kereta Jogja-Probolinggo Rp.50.000,00. Sepengetahuannya, kesana hanya bisa lewat bus Jogja-Surabaya-Probolinggo yang harganya >100.000,00. Setelah tahu, iapun agak melunak. Capek juga sebenarnya berdebat. Atas saran Wahyu, lebih baik langsung ke stasiun untuk membeli tiket kereta, harapannya agar jadi berangkat, tak banyak berdebat lagi. Finally, tiket sudah di tangan, untuk keberangkatan besok, hari kamis pukul 08.50. Nekat !
Sepulang dari stasiun, kami kumpul di rumah Wahyu untuk membicarakan perihal keberangkatan. Kami juga baru dapat kabar dari Diah bahwa kakaknya yang tinggal di Probolinggo yang akan membayar sewa mobil kami ke Bromo, tetapi uang jeepnya kami bertiga saja yang bayar. Alhamdulillah.

Keesokan paginya..
Aku sudah berada di Stasiun Lempuyangan pukul 08.20 dan setengah jam lagi kereta berangkat. KA.Logawa berangkat dari Purwokerto dan oleh sebab itu kami tidak boleh telat. Sambil menunggu, akupun sarapan nasi kuning yang tadi sekalian dibeli saat hendak berangkat. Oya, dari Stasiun ini aku berangkat dengan Wahyu saja, sedangkan Husnul berangkat dari Solo karena sedang ada keperluan disana.

08.35. Wahyu belum juga datang. Tidak ada kabar dari Line. Nasiku yang masih tersisa tidak aku habiskan karena perasaanku yang tidak enak. Entahlah. Saat ini tiket Wahyu ada di tanganku.

08.40. kereta Logawa tiba. Wahyu belum datang. Akupun semakin khawatir. Biasanya kereta cuma berhenti 5 menit. Saat di tempat pengecekan tiket, aku bingung harus bagaimana. Ingin aku titipkan saja tiket Wahyu kepada petugas agar nanti saat ia datang aku tidak perlu mengantarkannya lagi. Namun beliau menolak. Dengan langkah gontai aku menuju kereta dan duduk ke kursi. Pikirku, biarlah nanti Wahyu menyusul kami  dengan bis saja, karena untuk hari itu kereta ke Probolinggo hanya sekali. Atau, kemungkiann terburuknya, Wahyu tidak jadi ikut kami. Pikiranku sudah aneh-aneh saja. Selang 2 menit kemudian, ada Line dari Wahyu kalau dia sudah di stasiun. Sontak akupun langsung lari menghampirinya ke tempat pengecekan tiket. Ada rasa malu rasanya saat berlari. Tidak melihat ke kanan kiri, akupun diteriaki oleh calon penumpang yang sedang menunggu kereta selanjutnya, “ayo..ayoo”. Whateverlah. Akhirnya, tiket sudah sampai dan kami segera kembali ke kereta lewat gerbong yang terdekat untuk antisipasi jika kereta langsung berangkat dan untuk menghindari orang-orang yang tadi meneriakiku. Gerbong kami terletak di bagian paling belakang. Aku jadi teringat film ‘5 cm’ yang saat itu juga nyaris ketinggalan kereta. Hanya saja, kami tidak sampai kereta yang sudah berjalan. Lima menit kemudian, keretapun berangkat..

Di Kereta..
Meskipun kelas ekonomi dan hanya membayar Rp.50.000,00, fasilitas kereta ini lumayan memuaskan. BerAC,  bersih, tertib, toilet nyaman, dan tidak ada lagi pedagang asongan yang berjualan. Sepertinya PT. KAI banar-benar melaksanakan komitmennya untuk menjadikan alat transportasi ini menjadi nyaman untuk digunakan masyarakat. Perjalanan Jogja-Probolinggo ditempuh selama 8 jam. Kami tiba saat maghrib dan langsung dijemput oleh keluarga Diah.

Goes to Bromo
Jam 7.00 kami mulai berangkat dengan mobil sewaan. Hari agak berawan pagi itu. Doaku, semoga langit hari ini biru dan pemandangan disana tidak tertutup kabut. Probolinggo-Bromo ditempuh dalam waktu 1 jam. Oya, saat itu kami belum memesan jeep untuk keliling Bromo, karena mobil biasa tidak diperkenankan untuk memasuki area (mungkin karena medan yang sulit). Untunglah, Mas Feri, driver kami ternyata memiliki relasi jeep dan harganyapun cukup wajar. Akhirnya, setibanya disana kami langsung dijemput jeep.
Perjalanan beberapa kilo sebelum Bromo sudah disambut dengan rentetan bukit-bukit dan tanaman perkebunan khas dataran tinggi. Jalannyapun menanjak-berkelok yang jika dibandingkan dengan Dieng masih lebih sempit disini. Masyarakat sekitar didominasi beragama hindu, sehingga agak sulit menemukan masjid/mushola. Sesampainya di pos pemberhentian, kami sudah disambut jeep dan langsung berpindah mobil.
Memasuki kawasan Bromo, kami begitu terpukau. Selama ini tempat ini hanya kami lihat di buku/internet/media lain, tetapi hari ini kami berada disini. Bukannya lebay, tapi saat memasuki lokasi, kami disambut dengan lapangan pasir yang luas, hamparan bunga berwarna kuning & ungu, padang rumput yang menghijau, kabut halus nan lembut, dan bukit dan gunung yang mengelilingi kami. Sebuah dunia lain seperti surga yang Allah berikan untuk dunia.

Lokasi pertama kami adalah Savana+Bukit Teletubbies.
Salah satu keuntungan bepergian di musim hujan adalah saat semuanya menghijau, khususnya tempat ini. Di bukit seberangnya, saat musim panas kemarin sempat terbakar. Bersyukurnya kami masih bisa menikmati momen ini.



Setelah dari bukit teletubbies, kami menyempatkan diri untuk berhenti dan berfoto di hamparan bunga yang berwarna kuning dan ungu (tidak tahu apa namanya). Karena lokasi ini sebenarnya bukan lokasi tujuan resmi dan bahkan jeep berhenti di tengah jalan, jadi kami tidak bisa berlama-lama disini. Foto yang diambilpun tidak maksimal.

Padang Bunga.. So beautiful! Masya Allah


Lokasi Kedua, Pasir Berbisik
Disebut pasir berbisik karena saat ada angin dan kita meletakkan telinga didekat pasir, maka akan terdengar suara seperti orang berbisik. Sebenarnya tidak ada apa-apa disini, hanya saja view untuk berfoto dengan background gunung tanpa lebih bagus. Karena kemarin malam di lokasi ini hujan, maka pasir cenderung minim untuk menghasilkan debu.



Lokasi Ketiga, Kawah Bromo
Jeep hanya berhenti di tempat yang sudah disediakan dan tidak bisa mendekat ke kawah. Padahal jaraknya cukup jauh dan menanjak. Kami hanya diberi waktu ±1 jam untuk kembali lagi ke tempat jeep. Waktu yang sangat singkat dan membuat kami bergegas. Sebelu kami keluar dari jeep, tukang kuda sudah menawari kami untuk naik kesana. PP 100 ribu. Kami tahu tidak mungkin untuk naik kuda, karena budget kami tidak dianggarkan untuk itu. Akhirnya, tukang kuda itu terus mengikuti kami walaupun kami terus berjalan, hingga harga diturunkan PP 70 ribu atau pergi saja 30 ribu. Melihat medan yang tampaknya begitu terjal akhirnya aku dan Diah terpengaruh untuk naik kuda saat pergi saja. Dan heeii, ternyata naik kuda tak seperti yang aku bayangkan. Perlu keseimbangan ekstra dan harus dalam kondisi rileks. 
Otw kawah with Ucil (nama kuda)

Dan sesampainya di ujung tangga kawah, aku berpikir ternyata pilihanku naik kuda adalah pilihan yang tepat. Wahyu yang memilih tidak naik kuda, benar-benar ngos-ngosan. Belum lagi kami harus menaiki anak tangga yang curam untuk mencapai kawah. Kawah Bromo seperti kawah gunung pada umumnya. Bau belerang yang khas menyelimuti kami. Disana juga ada bapak penjual edelweiss dan tanaman gunung lainnya. Kami tahu saat itu adalah waktu kami untuk seharusnya tiba di lokasi lagi. Tapi apa daya kami tidak sanggup untuk mempercepatnya, dan untunglah drivernya tidak marah.

Kawah Gunung Bromo


Air Terjun Madakaripura
Selepas dari Bromo, kami melanjutkan ke air terjun yang lokasinya tidak jauh dari sana. Awalnya kami agak khawatir ke tempat ini, karena semalam hujan dan rawan longsor. Namun, karena saat ini tidak hujan, akhirnya kami memberanikan diri kesana. Sesampinya di parkiran, kami disambut bapak penjual jas hujan karena disana kami pasti akan basah-basahan. Untunglah, aku sudah membawa  jas hujan dari Jogja. Memasuki lokasi, kami harus berjalan ±1 km. Awalnya ada pemandu yang menawarkan diri untuk membantu dengan upah Rp 50ribu, namun kami menolak. Tetapi saat kami berjalan ada pemandu lain yang otomatis saja langsung menemani kami dan pada akhirnya banyak membantu kami sepanjang perjalanan.
Kami melewati jalan setapak yang memang khusus dibuat untuk pengunjung. Perjalanan kami ditemani arus sungai sepanjang jalan dan diapit ngarai yang curam di kiri dan kanan. Sampai pada suatu tempat dimana kami harus memakai jas hujan karena melewati jalan satu-satunya yang dihujani air terjun kecil. Baru kali ini aku melihat air terjun seperti ini. Saat itu saja, rasanya semua beban di pundak hilang. Begitupun teman-temanku. Bahagia sekali tampaknya. Kami sempatkan untuk berfoto sebentar disana.


Selanjutnya, kami menuju air terjun utama. Air terjun berada di balik bukit batu, jadi harus melewati batu-batu yang curam untuk menuju kesana. Akupun tidak berani untuk berjalan sendiri karena saat itu memakai rok dan disebelahnya adalah arus sungai yang deras dan dalam. Tergelincir sedikit, fatal sekali akibatnya. Daaaaan, masya Allah, air terjun ini adalah terbesar yang pernah aku lihat. Air terjun Grojogan Sewu pun masih kalah. Kami hanya bisa berfoto dan tidak bisa berenang karena arusnya sangat deras dan dalam. Surga dunia kedua yang aku lihat hari ini.

Air Terjun Madakaripura

Saat perjalanan pulang, Wahyu dan Husnul kembali mengajak kami untuk ke Malang. Sebelumnya, saat di kereta, melanjutkan perjalanan ke Malang adalah ideku, karena hanya selangkah lagi kesana. Namun, saat kami diskusikan lagi semalam, karena pertimbangan waktu, biaya, weekend, dan macet, maka rencana ke tempat ini dibatalkan. Tujuan kami adalah Jatim Park di daerah Batu. Daaan, sore ini rencana itu kembali dibahas. Kendala kami saat ini yang sebenarnya adalah waktu, karena hari senin kami sudah memulai aktivitas koas di Wonogori. Maka, akan sangat wasting time jika memakai kendaraan umum yang notabene lebih murah. Maka, kami bernegosiasi dengan mas Feri untuk harga sewa mobil ke Malang dan akhirnya sampai di titik kesepakatan. Besok fix ke Malang! Sesampainya di Probolinggo, kami langsung menuju stasiun untuk membeli tiket Malang-Jogja hari Sabtu malam, karena kami ingin mengejar waktu untuk pulang ke Wonogiri Minggu sore. Alhamdulillah masih ada dan langsung kami beli. Tiket pulangpun sudah di tangan.

Goes to Batu, Malang
Keesokan paginya, pukul 05.15 kami pamit dan langsung menuju Malang. Probolinggo-Batu ditempuh dalam 2,5 jam. Rencana kami adalah Jatim Park I saja, karena menurut yang sudah pernah kesana, butuh waktu seharian untuk menyelesaikannya. Kami tiba pukul 08.00 dan orang-orang masih sepi. Kami sarapan terlebih dahulu dan bersyukurnya kami, dua hari ini di perjalanan kami membawa bekal dari rumah keluarga Diah. Karena Weekend, harga Jatim Park I Rp. 80.000,00. Ada yang satu paket dengan Museum Tubuh, Rp 100.000,00. Karena bedanya hanya sedikit dan letaknya bersebelahan, maka kami ambil keduanya.
Memasuki Jatim Park I, kami diajak untuk mencintai budaya Indonesia, karena terdapat miniatur rumah adat, kraton, candi, sejarah, dan lain-lain. Sebagiannya juga berisi sains seperti halnya di Taman Pintar Yogyakarta. Semua wahana berjumlah 52. Oleh karena itu, kami tidak berlama-lama di wahana ini karena menghemat waktu untuk bisa menikmati wahana permainan. Wahana permainan terletak di bagian belakang. Pada dasarnya, wahana disini seperti di DuFan, namun dalam porsi yang lebih kecil. Untuk menikmati wahana ini, dibutuhkan jumlah orang minimal. Jadi, akan lebih baik jika beramai-ramai datang kesini.  Yeah, selamat bermain!

Wahana Permainan Jatim Park 1 dengan latar belakang Gunung ...??

Saat itu sudah pukul 14.30 dan kami belum ke Museum Tubuh. Masuk ke museum ini seperti masuk ke dalam tubuh kita sendiri. Dengan anatomi tubuh raksasa namun tetap dalam porsi yang proporsional, museum ini mampu mengikat hati kami. Ada 6 lantai (kalau tidak salah) dan kami naik dengan lift. Kami masuk dari bagian mulut dan berlanjut ke bagian tubuh lain. Masing-masing bagian memiliki satu pemandu yang menjelaskan anatomi dan fisiologinya. Sebenarnya, ingin sekali berlama-lama namun karena kami sudah pernah mendengar teori ini (sok-sok annya muncul) dan kami sedang mengistirahatkan otak ditambah kami agak buru-buru  jadi sepertinya agak malas untuk mendengarkan. Sampai akhirnya pemandu tahu bahwa kami adalah koas dan kami diperlakukan untuk segera dipercepat dan masuk ke ruang kadaver. Di akhir perjumpaan kami, akhirnya pemandu berkata, “kalian sih terlalu cepat lulusnya..”. iya, karena museum ini baru saja dibuka 3 bulan yang lalu dan sering digunakan sebagai tempat studi banding mahasiswa kedokteran atau medis lainnya. Pukul 15.30 kami menuju Malang.

Otak raksasa @Museum Tubuh

Di Malang, kami disambut hujan deras dan saat itu masuh pukul 16.40. Kamipun menyempatkan mampir di Mall dan pada pukul 17.45 kami menuju stasiun. Pukul 19.30 kereta Malioboro Express berangkat menuju Yogyakarta. Waktu itu kami membeli tiket untuk kelas ekonomi, walaupun sebenarnya di gerbong depan ada kelas eksekutif. Malam itu, kami tidur dengan pulas di kereta. Aku beberapa kali naik kereta malam dan belum pernah merasakan pulasnya tidur selain malam itu. Alhamdulillah, kami tiba di Stasiun Tugu pukul 04.00. Akhirnyaaa, liburan selesai dan siap-siap memasuki Stase Anak esok hari. Dan siap-siap berhemat juga..

Alhamdulillaahi robbil ‘aalamiin..