Bagi seorang penderita diabetes, kehidupan
yang mereka jalani tak selayaknya sebebas orang normal. Lansia, dalam hal ini
adalah pemeran utama penyakit ini, memiliki konsekuensi ekstra untuk
memperbaiki kehidupannya dalam kondisi yang kurang produktif. Kondisi
fisiologis yang mulai menurun tidak bisa dipungkiri menjadi faktor penghalang
keberhasilan terapi. Dalam alur manajemen yang harus dijalani, mereka harus
mendapatkan edukasi yang komprehensif dari tenaga medis. Selain itu, pengaturan
gizi yang memadai, keteraturan aktivitas fisik, dan kepatuhan minum obat juga
menjadi penentu dari keberhasilan pengendalian gula darah dan pencegahan
komplikasi.
“Jika Bapak tidak ingin penyakit ini
bertambah parah, Anda tidak boleh makan ini dan itu”. Kata “tidak boleh”
memiliki penekanan yang kuat dalam kalimat ini. Namun, seorang dokter tidak
harus mengatakannya dalam membina sambung rasa dengan pasien. Dari segi
biokimia, hampir semua makanan memiliki zat-zat kimia yang beraneka ragam yang
memiliki manfaat dan kerugian pada tubuh dalam kondisi tertentu. Misalnya pada
pasien yang dilarang makan buah yang manis. Pada buah tersebut mengandung
glukosa yang tinggi, tetapi di sisi lain juga mengandung vitamin yang penting
untuk membantu metabolisme tubuh. Selain itu, kata ini juga memiliki konotasi
negatif yang pada awalnya dapat memberi efek patuh. Namun, seiring berjalannya
waktu, kata ini juga tidak akan berpengaruh banyak. Mengapa demikian?
Dalam memberikan edukasi, tenaga
medis harus menggunakan prinsip pendekatan ketaatan dan pendekatan pemberian
wewenang. Hal yang harus dilakukan pertama kali dalam pendekatan adalah sambung
rasa yang baik. Jadi, kata “jangan makan makanan ini” sebaiknya diganti dengan
“kurangi makanan ini”. Selain itu, untuk mewujudkan ketaatan pasien, dokter
terlebih dahulu harus memposisikan diri bahwa dia adalah orang yang sepenuhnya
dipercaya pasien untuk mengambil keputusan dalam penatalaksanaan penyakit ini. Faktanya
dalam mewujudkan hal tersebut kebanyakan dokter hanya menyebutkan secara lisan
dari serangkaian penatalaksanaan yang diberikan. Dalam menangani lansia, mereka
kurang mempertimbangkan penurunan daya ingat yang mulai timbul. Lantas,
bagaimana dengan lansia yang diinstruksikan dengan pengaturan makan, aktivitas,
minum obat, waktu kontrol kembali, dan sebagainya?
Kreativitas seorang dokter dituntut
dalam hal ini. Ada berbagai macam cara untuk meningkatkan kepatuhan dari sisi
internal maupun eksternal pasien itu sendiri. Dari sisi internal, dokter bisa
membuat buku catatan kecil khusus yang berisi instruksi manajemen pengendalian
diabetes. Akan lebih baik jika berisi checklist
harian ataupun mingguan yang harus diisi dan dicantumkan tanggal untuk kembali
kontrol ke doker. Tentunya seorang dokter harus menyesuaikan latar belakang
pendidikan pasien yang dihadapinya. Dari sisi eksternal, keluarga berperan
penting dalam menentukan tingkat kepatuhan manajemen diabetes. Pada anggota
keluarga yang terbiasa untuk makan makanan yang manis, jika tidak ada kontrol
dari anggota keluarga lainnya, maka penderita diabetes akan cenderung makan
makanan tersebut. Oleh karena itu, seorang dokter tidak hanya memberikan
edukasi kepada pasien tetapi juga kepada keluarga secara mendalam, mulai dari
pola makan, aktivitas, pengaturan minum obat, kontrol ulang, dan pencegahan
komplikasi. Anggota keluarga yang diutamakan adalah keluarga terdekat, baik itu
suami, istri, atau anak.
Dalam pendekatan wewenang, yang
dilakukan adalah sebaliknya. Dalam hal ini pasien harus memposisikan diri bahwa
dia adalah orang yang dipercaya oleh dokter untuk mengambil keputusan sendiri
dalam penanganan diabetes. Namun, sebelumnya pasien sudah dibekali oleh dokter agar
siap menjalaninya.
Setelah edukasi dilakukan dengan
baik, langkah selanjutnya adalah melakukan terapi gizi medis terhadap pasien.
Menurut Konsesus Pengelolaan Diabetes Mellitus di Indonesia tahun 2011, kunci
keberhasilan terapi gizi medis adalah keterlibatan secara menyeluruh dari
anggota tim, yaitu dokter, ahli gizi, petugas kesehatan lain, dan pasien itu
sendiri. Pada prinsipnya, pasien harus mendapat asupan makanan yang seimbang
dan mencukupi kalori serta gizi yang dibutuhkan. Namun dalam hal ini perlu
ditekankan mengenai keteraturan makan, seperti jadwal, jenis, dan jumlah
makanan, khususnya pada mereka yang menggunakan terapi obat penurun gula darah
atau insulin.
Pada realita di masyarakat banyak
ditemukan lansia yang nakal dalam menjalani terapi gizi. Misalnya, lansia yang
mudah tergoda dengan makanan lezat. Untuk meningkatkan kepatuhan terhadap
terapi gizi ini, lagi-lagi dibutuhkan kekreatifitasan dari pasien dan anggota
keluarga. Saat pasien tidak menyukai sayuran, maka cara yang harus dipikirkan
adalah bagaimana agar mengolah sayur tersebut agar meningkatkan selera. Saat
pasien sangat menyukai makanan dan minuman yang manis, maka yang harus
dilakukan adalah mencari referensi tentang pemanis yang rendah kalori. Saat di
sekitar tempat tinggal sangat sulit untuk menemukan makanan yang dianjurkan,
maka yang harus dilakukan adalah mencari info tentang makanan alternatif yang
komposisi gizi dan kalorinya menyerupai makanan utama. Hal yang sangat penting
untuk diingat adalah bahwa lansia tidak bisa hidup sendiri. Bantuan dan
semangat dari anggota keluarga dan orang-orang terdekat memberikan pengaruh
yang besar dalam keberhasilan terapi.
Selain edukasi dan terapi gizi, aktivitas
fisik juga memegang peranan penting dalam pengelolaan diabetes. Penelitian
menyebutkan olahraga dapat meningkatkan sensitivitas insulin sehingga dapat
menurunkan kadar gula darah. Menurut Konsesus Pengendalian Diabetes di
Indonesia tahun 2011, pasien dianjurkan untuk berolahraga secara teratur
sebanyak tiga sampai empat kali dalam seminggu dengan durasi sekitar 30 menit.
Pilihan yang dapat dilakukan adalah jalan kaki, bersepeda santai, jogging, dan berenang.
Tidak hanya keteraturan olahraga yang
dianjurkan, pasien juga dituntut untuk meningkatkan aktivitas fisik
sehari-hari. Kebiasaan sedenter yang kurang bergerak seperti menonton televisi,
bepergian ke tempat yang dekat dengan naik kendaraan, dan sebagainya juga harus
dihindari. Agaknya, kebiasaan yang identik dengan masyarakat kota ini menjadi
alasan logis banyaknya penderita diabetes di daerah urban. Bertolak belakang
dengan masyarakat pedesaan yang banyak menggunakan fisik dan belum majunya
perkembangan teknologi, prevalensi di daerah rural cenderung lebih sedikit.
Meskipun demikian, aktivitas fisik bukanlah satu-satunya faktor risiko penyebab
diabetes.
Budaya Indonesia yang kurang
berolahraga atau olahraga hanya setiap hari minggu tampaknya menjadi sesuatu
yang mempengaruhi pasien diabetes. Alasan klasik tidak tercapainya target
pelaksanaan latihan fisik, terutama pada masyarakat perkotaan adalah karena
sibuknya pekerjaan masing-masing. Pada lansia yang sudah pensiun, sepertinya
kesibukan bukan lagi menjadi alasan untuk tidak berolahraga, mengingat
berakhirnya masa produktif untuk bekerja. Namun, sebetulnya apakah yang
menyebabkan rutinitas olahraga pada lansia ini menjadi sangat sulit? Jawabannya
multifaktorial. Tetapi alasan yang logis adalah keinginan yang kuat untuk tetap
sehat.
Keinginan untuk sehat dan bisa
menikmati hidup adalah idaman setiap orang, begitupun dengan lansia yang ingin
menghabiskan masa senjanya. Jika mereka memiliki tekad untuk sembuh sekuat
baja, halangan yang besarpun tidak akan menjadi masalah. Mengetahui kondisi psikologis
mereka yang tidak suka untuk diperintah, maka kesadaran untuk selalu berusaha
mencapai kesembuhan adalah penting untuk ditanamkan. Jangan salahkan siapapun
jika penyakit ini tidak terkontrol dan terjadi komplikasi. Salahkan kesadaran
di dalam hati yang tidak mampu menjelmakan raga untuk memaksimalkan usaha. Tidakkah
cukupkah pelaku sejarah di sekitar kita menjadi guru untuk berkaca? Ada banyak
orang disana yang keluar dalam kegelapan subuh untuk jogging menelusuri aspal tanpa memakai alas kaki.
Tidak
perlu mencari kolam renang atau meminjam sepeda tetangga untuk menghasilkan
panas selama 30 menit. Aktivitas fisik dapat disesuaikan dengan kesanggupan dan
kesegaran jasmani. Jika lansia masih relatif sehat dan sanggup untuk melakukan
aktivitas yang lebih berat, maka itu akan lebih baik. Namun jika tidak sanggup,
misalnya pada mereka yang memiliki penyakit penyulit lainnya, maka aktivitas
dapat diganti dengan yang lebih ringan. Bahkan lansia juga dapat memanfaatkan
rutinitas hariannya menjadi sesuatu untuk membuat fisiknya menjadi lebih baik.
Bagi mereka yang menghabiskan hampir seluruh waktunya di rumah, maka berkebun
dan membersihkan rumah merupakan kebiasaan baik untuk diterapkan. Sedangkan
bagi mereka yang menghabiskan masa senjanya untuk mencari nafkah, maka setiap
pekerjaan yang mereka lakukan harus bisa disiasati agar banyak bergerak.
Jika
terapi gizi dan makanan sudah dilaksanakan dengan baik, maka langkah
selanjutnya yang dilakukan adalah terapi farmakologis. Banyak obat anti
diabetes yang menjadi pilihan dokter saat ini. Mulai dari yang harganya sekelas
generik hingga yang harganya selangit. Penelitian Alvarsson dari swedia tahun
2010 menunjukkan bahwa panggunaan terapi insulin yang bagi pasien yang baru
terdiagnosis diabetes memberikan efek lebih baik dibandingkan dengan pemberian
Obat Hiperglikemik Oral (OHO) misalnya glibenkalamid. Tetapi, biaya yang
dikeluarkan untuk penggunaan insulin jauh lebih tinggi sehingga sulit untuk
diterapkan untuk pasien dengan status ekonomi menengah ke bawah. Disinilah
sebenarnya kecerdasan dokter diuji. Peresepan dengan pertimbangan yang matang
akan selalu memberikan manfaat kepada pasien.
Dalam
perkembangan terapi farmakologis di Indonesia saat ini, medikamentosa bukanlah
satu-satunya terapi yang menjadi pilihan masyarakat. Banyak terapi alternatif
yang menyuguhkan iklan yang menyakinkan. Mulai dari terapi herbal hingga terapi
yang berasal dari sugesti seseorang. Mulai dari hasil penelitian hingga terapi
yang hingga saat ini belum terbukti kebenaranya. Semakin banyak pilihan terapi,
maka masyarakat dituntut untuk semakin cermat dalam mengambil keputusan.
Sebagaimana
umumnya dalam dunia ilmiah, suatu penemuan sudah bisa diaplikasikan jika telah
melalui serangkaian penelitian dan uji coba pada manusia. Sang pemberi terapi
juga harus mengetahui patofisiologi penyakit, farmakokinetika, dan
farmakodinamika dari obat tersebut. Bagi seorang dokter, ilmu tersebut
merupakan kunci dalam kamar praktik mereka. Namun, apakah semua itu sudah
melekat pada mereka yang menawarkan terapi alternatif? Sebagai contoh, pada
terapi tradisional. Misalnya dalam sebuah penelitian diketahui bahwa buncis
dapat meningkatkan kadar insulin dengan memperbaiki pankreas yang rusak. Apakah
langsung dapat diambil kesimpulan bahwa ekstrak buncis dapat menyembuhkan
penyakit diabetes? Dari contoh tersebut harus dipertimbangkan dahulu patofisiologi
penyakit dan pemeriksaan penunjang. Peningkatan kadar glukosa darah tidak hanya
disebabkan pada kerusakan pankreas saja,
tetapi juga karena resistensi insulin. Oleh karena itu ekstrak buncis tersebut
tidak dapat digunakan pada pasien diabetes dengan fase resistensi insulin tetapi dapat digunakan pada pasien dengan
kerusakan pankreas.
Terakhir,
dalam manajemen pengendalian diabetes adalah pencegahan terjadinya penyulit
atau komplikasi. Menurut Konsesus Pengendalian Diabetes Mellitus di Indonesia
Tahun 2006, komplikasi diabetes akut adalah terjadinya hipoglikemia dan
hiperglikemia ketoasidosis maupun nonketoasidosis. Sedangkan komplikasi kronis
adalah terjadinya gagal ginjal, penyakit jantung koroner, stroke, ulkus
diabetikum, dan lain-lain. Komplikasi terjadi jika kadar gula darah dalam tubuh
tidak terkontrol, walaupun dalam perjalanannya juga terdapat pasien yang kadar
gula darah terkontrol tetapi terjadi komplikasi. Hal ini dapat disebabkan
karena faktor genetik dan faktor metabolik. Karena faktor genetik tidak bisa
diubah, maka yang harus kita upayakan adalah mengubah faktor metabolik itu
sendiri. Pasien dapat memperbaiki gula darahnya agar selalu terkontrol dengan
menerapkan pola hidup seperti yang dibahas sebelumnya. Selain itu, pasien juga
harus memeriksakan diri secara berkala untuk memantau perkembangan penyakitnya.
Bagi
pasien yang beragama Islam, shalat dapat menjadi solusi untuk pencegahan komplikasi,
terutama ulkus diabetik. Menurut Sagiran (2007), gerakan-gerakan shalat dapat
melancarkan pembuluh darah di kaki. Misalnya jika terjadi sumbatan arteri utama
di daerah paha, maka gerakan-gerakan sholat akan melancarkan aliran di pembuluh
darah kolateral sehingga dapat menjadi jalan alternatif untuk mencukupi aliran
darah di arteri utama. Dengan demikian, risiko terjadinya mikroangiopati akan
lebih kecil. Selain itu, posisi sujud juga dapat memperkecil terjadinya
komplikasi stroke karena adanya peningkatan
debit darah ke otak sehingga dapat meningkatkan elastisitas pembuluh darah. Hal
ini dapat dijadikan motivasi bagi para lansia untuk menata shalatnya dengan
lebih baik demi mendekatkan diri kepada penciptanya.
Penyakit
yang ditimpakan kepada manusia hendaknya dapat dijadikan introspeksi yang bisa
membuka cakrawala pemikiran. Di dalam agama islam, Allah SWT berfirman, “Dan musibah apapun yang menimpa kamu adalah
karena perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan banyak dari
kesalahan-kesalahanmu”(Q.S. Asy Syura:30). Tidak bisa dipungkiri, diabetes
terjadi karena gaya hidup yang tidak sehat. Walaupun kebanyakan dari pasien
dikaruniai gen penyakit ini, namun banyak juga dari mereka yang hidup sehat.
Hal ini dikarenakan antisipasi ketat yang mereka lakukan. Namun bagi pasien
yang sudah mengantisipasi ketat dan tetap mengalami diabetes, itu merupakan
ujian yang Allah SWT berikan kepada mereka. Di sisi lain, banyak pula pasien
yang tidak diwarisi gen ini namun tetap mengalami diabetes. Penyebabnya murni
karena gaya hidup yang mereka lakukan. Oleh karena itu, hendaknya mereka
memohon ampunan karena penyakit yang mereka alami adalah murni dari kesalahan
mereka sendiri.
Walaupun
hal ini telah terjadi, Allah swt tidak begitu saja menyia-nyiakan hambaNya. Dia
berfirman, “Wahai orang-orang yang
beriman! Mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat. Sungguh,
Allah beserta orang-orang yang sabar.” (Q.S. Al Baqarah:153). Dalam
menghadapi penyakitnya, manusia dianjurkan untuk bersabar. Sabar dalam hal ini
dapat diartikan dalam bentuk aktif dan pasif. Sabar aktif adalah sabar yang
diaplikasikan dalam bentuk perbuatan. Pasien merubah pola makannya, sering
berolahraga, dan teratur minum obat adalah bentuk nyata dari sabar ini.
Sedangkan sabar pasif adalah sabar dalam menata hati saat mengahadapi hal-hal
yang tidak menyenangkan selama pengobatan hingga didapatkan hasil yang
diharapkan. Sabar ini juga termasuk memaksimalkan doa di dalamnya.
Sebagai
kesimpulan dalam manajemen diabetes pada lansia, hal yang harus diingat adalah
lansia tidak bisa berjuang sendiri dalam menghadapi penyakitnya. Tenaga medis
dan anggota keluarga harus menjadi penyokong yang menguatkan perjuangan mereka.
Semua itu juga akan terasa lengkap jika dilakukan dalam satu rangkaian dengan pendekatan
ibadah. Dengan demikian, paket manajemen ini akan memudahkan lansia dalam
menjalani hari-harinya dengan kuat dan bahagia.
LAMPIRAN
Daftar Pustaka
Alvarsson M., Berntorp K., Fernqvist-Fosbes
E., Lager I., Steen L., Orn T., Grill V. Effect of Insulin Versus Sulphonylurea
on Beta-cell Secretion in Recently Diagnose Type 2 Diabetes Patients: A 6-year
Follow-Up Study, The Review of Diabetic
Study 2010; 2: 225-232.
Colberg SR., Physical Activity: the forgotten
tool for type 2 diabetes management, Frontiers
in Endocrynology 2012; 3: 1-6.
Departeman Agama Republik Indonesia., 2005. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Bandung:
Syaamil Qur’an.
Konsesus
Pengelolaan Diabetes Mellitus di Indonesia Tahun 2006.
Sagiran.,
2007. Mukjizat Gerakan Shalat.
Jakarta: Qultum Media.
Subekti, I. 2011. Prinsip dan Strategi Edukasi Diabetes dalam Mardani, R.A. Penatalaksanaan Diabetes Mellitus Terpadu.
Jakarta: Balai Penerbit FK UI.
Waspadji, S. 2011. Diabetes Mellitus, Penyulit Kronik, dan Pencegahannya dalam Mardani,
R.A. Penatalaksanaan Diabetes Mellitus
Terpadu. Jakarta: Balai Penerbit FK UI.