Pages

Wednesday, February 13, 2013

Diabetes, What Should I Do?


Bagi seorang penderita diabetes, kehidupan yang mereka jalani tak selayaknya sebebas orang normal. Lansia, dalam hal ini adalah pemeran utama penyakit ini, memiliki konsekuensi ekstra untuk memperbaiki kehidupannya dalam kondisi yang kurang produktif. Kondisi fisiologis yang mulai menurun tidak bisa dipungkiri menjadi faktor penghalang keberhasilan terapi. Dalam alur manajemen yang harus dijalani, mereka harus mendapatkan edukasi yang komprehensif dari tenaga medis. Selain itu, pengaturan gizi yang memadai, keteraturan aktivitas fisik, dan kepatuhan minum obat juga menjadi penentu dari keberhasilan pengendalian gula darah dan pencegahan komplikasi.
            “Jika Bapak tidak ingin penyakit ini bertambah parah, Anda tidak boleh makan ini dan itu”. Kata “tidak boleh” memiliki penekanan yang kuat dalam kalimat ini. Namun, seorang dokter tidak harus mengatakannya dalam membina sambung rasa dengan pasien. Dari segi biokimia, hampir semua makanan memiliki zat-zat kimia yang beraneka ragam yang memiliki manfaat dan kerugian pada tubuh dalam kondisi tertentu. Misalnya pada pasien yang dilarang makan buah yang manis. Pada buah tersebut mengandung glukosa yang tinggi, tetapi di sisi lain juga mengandung vitamin yang penting untuk membantu metabolisme tubuh. Selain itu, kata ini juga memiliki konotasi negatif yang pada awalnya dapat memberi efek patuh. Namun, seiring berjalannya waktu, kata ini juga tidak akan berpengaruh banyak. Mengapa demikian? 
            Dalam memberikan edukasi, tenaga medis harus menggunakan prinsip pendekatan ketaatan dan pendekatan pemberian wewenang. Hal yang harus dilakukan pertama kali dalam pendekatan adalah sambung rasa yang baik. Jadi, kata “jangan makan makanan ini” sebaiknya diganti dengan “kurangi makanan ini”. Selain itu, untuk mewujudkan ketaatan pasien, dokter terlebih dahulu harus memposisikan diri bahwa dia adalah orang yang sepenuhnya dipercaya pasien untuk mengambil keputusan dalam penatalaksanaan penyakit ini. Faktanya dalam mewujudkan hal tersebut kebanyakan dokter hanya menyebutkan secara lisan dari serangkaian penatalaksanaan yang diberikan. Dalam menangani lansia, mereka kurang mempertimbangkan penurunan daya ingat yang mulai timbul. Lantas, bagaimana dengan lansia yang diinstruksikan dengan pengaturan makan, aktivitas, minum obat, waktu kontrol kembali, dan sebagainya?
            Kreativitas seorang dokter dituntut dalam hal ini. Ada berbagai macam cara untuk meningkatkan kepatuhan dari sisi internal maupun eksternal pasien itu sendiri. Dari sisi internal, dokter bisa membuat buku catatan kecil khusus yang berisi instruksi manajemen pengendalian diabetes. Akan lebih baik jika berisi checklist harian ataupun mingguan yang harus diisi dan dicantumkan tanggal untuk kembali kontrol ke doker. Tentunya seorang dokter harus menyesuaikan latar belakang pendidikan pasien yang dihadapinya. Dari sisi eksternal, keluarga berperan penting dalam menentukan tingkat kepatuhan manajemen diabetes. Pada anggota keluarga yang terbiasa untuk makan makanan yang manis, jika tidak ada kontrol dari anggota keluarga lainnya, maka penderita diabetes akan cenderung makan makanan tersebut. Oleh karena itu, seorang dokter tidak hanya memberikan edukasi kepada pasien tetapi juga kepada keluarga secara mendalam, mulai dari pola makan, aktivitas, pengaturan minum obat, kontrol ulang, dan pencegahan komplikasi. Anggota keluarga yang diutamakan adalah keluarga terdekat, baik itu suami, istri, atau anak. 
            Dalam pendekatan wewenang, yang dilakukan adalah sebaliknya. Dalam hal ini pasien harus memposisikan diri bahwa dia adalah orang yang dipercaya oleh dokter untuk mengambil keputusan sendiri dalam penanganan diabetes. Namun, sebelumnya pasien sudah dibekali oleh dokter agar siap menjalaninya.
            Setelah edukasi dilakukan dengan baik, langkah selanjutnya adalah melakukan terapi gizi medis terhadap pasien. Menurut Konsesus Pengelolaan Diabetes Mellitus di Indonesia tahun 2011, kunci keberhasilan terapi gizi medis adalah keterlibatan secara menyeluruh dari anggota tim, yaitu dokter, ahli gizi, petugas kesehatan lain, dan pasien itu sendiri. Pada prinsipnya, pasien harus mendapat asupan makanan yang seimbang dan mencukupi kalori serta gizi yang dibutuhkan. Namun dalam hal ini perlu ditekankan mengenai keteraturan makan, seperti jadwal, jenis, dan jumlah makanan, khususnya pada mereka yang menggunakan terapi obat penurun gula darah atau insulin.
            Pada realita di masyarakat banyak ditemukan lansia yang nakal dalam menjalani terapi gizi. Misalnya, lansia yang mudah tergoda dengan makanan lezat. Untuk meningkatkan kepatuhan terhadap terapi gizi ini, lagi-lagi dibutuhkan kekreatifitasan dari pasien dan anggota keluarga. Saat pasien tidak menyukai sayuran, maka cara yang harus dipikirkan adalah bagaimana agar mengolah sayur tersebut agar meningkatkan selera. Saat pasien sangat menyukai makanan dan minuman yang manis, maka yang harus dilakukan adalah mencari referensi tentang pemanis yang rendah kalori. Saat di sekitar tempat tinggal sangat sulit untuk menemukan makanan yang dianjurkan, maka yang harus dilakukan adalah mencari info tentang makanan alternatif yang komposisi gizi dan kalorinya menyerupai makanan utama. Hal yang sangat penting untuk diingat adalah bahwa lansia tidak bisa hidup sendiri. Bantuan dan semangat dari anggota keluarga dan orang-orang terdekat memberikan pengaruh yang besar dalam keberhasilan terapi.
            Selain edukasi dan terapi gizi, aktivitas fisik juga memegang peranan penting dalam pengelolaan diabetes. Penelitian menyebutkan olahraga dapat meningkatkan sensitivitas insulin sehingga dapat menurunkan kadar gula darah. Menurut Konsesus Pengendalian Diabetes di Indonesia tahun 2011, pasien dianjurkan untuk berolahraga secara teratur sebanyak tiga sampai empat kali dalam seminggu dengan durasi sekitar 30 menit. Pilihan yang dapat dilakukan adalah jalan kaki, bersepeda santai, jogging, dan berenang.
            Tidak hanya keteraturan olahraga yang dianjurkan, pasien juga dituntut untuk meningkatkan aktivitas fisik sehari-hari. Kebiasaan sedenter yang kurang bergerak seperti menonton televisi, bepergian ke tempat yang dekat dengan naik kendaraan, dan sebagainya juga harus dihindari. Agaknya, kebiasaan yang identik dengan masyarakat kota ini menjadi alasan logis banyaknya penderita diabetes di daerah urban. Bertolak belakang dengan masyarakat pedesaan yang banyak menggunakan fisik dan belum majunya perkembangan teknologi, prevalensi di daerah rural cenderung lebih sedikit. Meskipun demikian, aktivitas fisik bukanlah satu-satunya faktor risiko penyebab diabetes.
            Budaya Indonesia yang kurang berolahraga atau olahraga hanya setiap hari minggu tampaknya menjadi sesuatu yang mempengaruhi pasien diabetes. Alasan klasik tidak tercapainya target pelaksanaan latihan fisik, terutama pada masyarakat perkotaan adalah karena sibuknya pekerjaan masing-masing. Pada lansia yang sudah pensiun, sepertinya kesibukan bukan lagi menjadi alasan untuk tidak berolahraga, mengingat berakhirnya masa produktif untuk bekerja. Namun, sebetulnya apakah yang menyebabkan rutinitas olahraga pada lansia ini menjadi sangat sulit? Jawabannya multifaktorial. Tetapi alasan yang logis adalah keinginan yang kuat untuk tetap sehat.
            Keinginan untuk sehat dan bisa menikmati hidup adalah idaman setiap orang, begitupun dengan lansia yang ingin menghabiskan masa senjanya. Jika mereka memiliki tekad untuk sembuh sekuat baja, halangan yang besarpun tidak akan menjadi masalah. Mengetahui kondisi psikologis mereka yang tidak suka untuk diperintah, maka kesadaran untuk selalu berusaha mencapai kesembuhan adalah penting untuk ditanamkan. Jangan salahkan siapapun jika penyakit ini tidak terkontrol dan terjadi komplikasi. Salahkan kesadaran di dalam hati yang tidak mampu menjelmakan raga untuk memaksimalkan usaha. Tidakkah cukupkah pelaku sejarah di sekitar kita menjadi guru untuk berkaca? Ada banyak orang disana yang keluar dalam kegelapan subuh untuk jogging menelusuri aspal tanpa memakai alas kaki.
Tidak perlu mencari kolam renang atau meminjam sepeda tetangga untuk menghasilkan panas selama 30 menit. Aktivitas fisik dapat disesuaikan dengan kesanggupan dan kesegaran jasmani. Jika lansia masih relatif sehat dan sanggup untuk melakukan aktivitas yang lebih berat, maka itu akan lebih baik. Namun jika tidak sanggup, misalnya pada mereka yang memiliki penyakit penyulit lainnya, maka aktivitas dapat diganti dengan yang lebih ringan. Bahkan lansia juga dapat memanfaatkan rutinitas hariannya menjadi sesuatu untuk membuat fisiknya menjadi lebih baik. Bagi mereka yang menghabiskan hampir seluruh waktunya di rumah, maka berkebun dan membersihkan rumah merupakan kebiasaan baik untuk diterapkan. Sedangkan bagi mereka yang menghabiskan masa senjanya untuk mencari nafkah, maka setiap pekerjaan yang mereka lakukan harus bisa disiasati agar banyak bergerak.
Jika terapi gizi dan makanan sudah dilaksanakan dengan baik, maka langkah selanjutnya yang dilakukan adalah terapi farmakologis. Banyak obat anti diabetes yang menjadi pilihan dokter saat ini. Mulai dari yang harganya sekelas generik hingga yang harganya selangit. Penelitian Alvarsson dari swedia tahun 2010 menunjukkan bahwa panggunaan terapi insulin yang bagi pasien yang baru terdiagnosis diabetes memberikan efek lebih baik dibandingkan dengan pemberian Obat Hiperglikemik Oral (OHO) misalnya glibenkalamid. Tetapi, biaya yang dikeluarkan untuk penggunaan insulin jauh lebih tinggi sehingga sulit untuk diterapkan untuk pasien dengan status ekonomi menengah ke bawah. Disinilah sebenarnya kecerdasan dokter diuji. Peresepan dengan pertimbangan yang matang akan selalu memberikan manfaat kepada pasien.
Dalam perkembangan terapi farmakologis di Indonesia saat ini, medikamentosa bukanlah satu-satunya terapi yang menjadi pilihan masyarakat. Banyak terapi alternatif yang menyuguhkan iklan yang menyakinkan. Mulai dari terapi herbal hingga terapi yang berasal dari sugesti seseorang. Mulai dari hasil penelitian hingga terapi yang hingga saat ini belum terbukti kebenaranya. Semakin banyak pilihan terapi, maka masyarakat dituntut untuk semakin cermat dalam mengambil keputusan.
Sebagaimana umumnya dalam dunia ilmiah, suatu penemuan sudah bisa diaplikasikan jika telah melalui serangkaian penelitian dan uji coba pada manusia. Sang pemberi terapi juga harus mengetahui patofisiologi penyakit, farmakokinetika, dan farmakodinamika dari obat tersebut. Bagi seorang dokter, ilmu tersebut merupakan kunci dalam kamar praktik mereka. Namun, apakah semua itu sudah melekat pada mereka yang menawarkan terapi alternatif? Sebagai contoh, pada terapi tradisional. Misalnya dalam sebuah penelitian diketahui bahwa buncis dapat meningkatkan kadar insulin dengan memperbaiki pankreas yang rusak. Apakah langsung dapat diambil kesimpulan bahwa ekstrak buncis dapat menyembuhkan penyakit diabetes? Dari contoh tersebut harus dipertimbangkan dahulu patofisiologi penyakit dan pemeriksaan penunjang. Peningkatan kadar glukosa darah tidak hanya disebabkan pada kerusakan  pankreas saja, tetapi juga karena resistensi insulin. Oleh karena itu ekstrak buncis tersebut tidak dapat digunakan pada pasien diabetes dengan fase resistensi insulin  tetapi dapat digunakan pada pasien dengan kerusakan pankreas.
Terakhir, dalam manajemen pengendalian diabetes adalah pencegahan terjadinya penyulit atau komplikasi. Menurut Konsesus Pengendalian Diabetes Mellitus di Indonesia Tahun 2006, komplikasi diabetes akut adalah terjadinya hipoglikemia dan hiperglikemia ketoasidosis maupun nonketoasidosis. Sedangkan komplikasi kronis adalah terjadinya gagal ginjal, penyakit jantung koroner, stroke, ulkus diabetikum, dan lain-lain. Komplikasi terjadi jika kadar gula darah dalam tubuh tidak terkontrol, walaupun dalam perjalanannya juga terdapat pasien yang kadar gula darah terkontrol tetapi terjadi komplikasi. Hal ini dapat disebabkan karena faktor genetik dan faktor metabolik. Karena faktor genetik tidak bisa diubah, maka yang harus kita upayakan adalah mengubah faktor metabolik itu sendiri. Pasien dapat memperbaiki gula darahnya agar selalu terkontrol dengan menerapkan pola hidup seperti yang dibahas sebelumnya. Selain itu, pasien juga harus memeriksakan diri secara berkala untuk memantau perkembangan penyakitnya.
Bagi pasien yang beragama Islam, shalat dapat menjadi solusi untuk pencegahan komplikasi, terutama ulkus diabetik. Menurut Sagiran (2007), gerakan-gerakan shalat dapat melancarkan pembuluh darah di kaki. Misalnya jika terjadi sumbatan arteri utama di daerah paha, maka gerakan-gerakan sholat akan melancarkan aliran di pembuluh darah kolateral sehingga dapat menjadi jalan alternatif untuk mencukupi aliran darah di arteri utama. Dengan demikian, risiko terjadinya mikroangiopati akan lebih kecil. Selain itu, posisi sujud juga dapat memperkecil terjadinya komplikasi stroke karena adanya peningkatan debit darah ke otak sehingga dapat meningkatkan elastisitas pembuluh darah. Hal ini dapat dijadikan motivasi bagi para lansia untuk menata shalatnya dengan lebih baik demi mendekatkan diri kepada penciptanya.
Penyakit yang ditimpakan kepada manusia hendaknya dapat dijadikan introspeksi yang bisa membuka cakrawala pemikiran. Di dalam agama islam, Allah SWT berfirman, “Dan musibah apapun yang menimpa kamu adalah karena perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan banyak dari kesalahan-kesalahanmu”(Q.S. Asy Syura:30). Tidak bisa dipungkiri, diabetes terjadi karena gaya hidup yang tidak sehat. Walaupun kebanyakan dari pasien dikaruniai gen penyakit ini, namun banyak juga dari mereka yang hidup sehat. Hal ini dikarenakan antisipasi ketat yang mereka lakukan. Namun bagi pasien yang sudah mengantisipasi ketat dan tetap mengalami diabetes, itu merupakan ujian yang Allah SWT berikan kepada mereka. Di sisi lain, banyak pula pasien yang tidak diwarisi gen ini namun tetap mengalami diabetes. Penyebabnya murni karena gaya hidup yang mereka lakukan. Oleh karena itu, hendaknya mereka memohon ampunan karena penyakit yang mereka alami adalah murni dari kesalahan mereka sendiri.
Walaupun hal ini telah terjadi, Allah swt tidak begitu saja menyia-nyiakan hambaNya. Dia berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman! Mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat. Sungguh, Allah beserta orang-orang yang sabar.” (Q.S. Al Baqarah:153). Dalam menghadapi penyakitnya, manusia dianjurkan untuk bersabar. Sabar dalam hal ini dapat diartikan dalam bentuk aktif dan pasif. Sabar aktif adalah sabar yang diaplikasikan dalam bentuk perbuatan. Pasien merubah pola makannya, sering berolahraga, dan teratur minum obat adalah bentuk nyata dari sabar ini. Sedangkan sabar pasif adalah sabar dalam menata hati saat mengahadapi hal-hal yang tidak menyenangkan selama pengobatan hingga didapatkan hasil yang diharapkan. Sabar ini juga termasuk memaksimalkan doa di dalamnya.
Sebagai kesimpulan dalam manajemen diabetes pada lansia, hal yang harus diingat adalah lansia tidak bisa berjuang sendiri dalam menghadapi penyakitnya. Tenaga medis dan anggota keluarga harus menjadi penyokong yang menguatkan perjuangan mereka. Semua itu juga akan terasa lengkap jika dilakukan dalam satu rangkaian dengan pendekatan ibadah. Dengan demikian, paket manajemen ini akan memudahkan lansia dalam menjalani hari-harinya dengan kuat dan bahagia.

LAMPIRAN

Daftar Pustaka
Alvarsson M., Berntorp K., Fernqvist-Fosbes E., Lager I., Steen L., Orn T., Grill V. Effect of Insulin Versus Sulphonylurea on Beta-cell Secretion in Recently Diagnose Type 2 Diabetes Patients: A 6-year Follow-Up Study, The Review of Diabetic Study 2010; 2: 225-232.
Colberg SR., Physical Activity: the forgotten tool for type 2 diabetes management, Frontiers in Endocrynology 2012; 3: 1-6.
Departeman Agama Republik Indonesia., 2005. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Bandung: Syaamil Qur’an.
Konsesus Pengelolaan Diabetes Mellitus di Indonesia Tahun 2006.
Sagiran., 2007. Mukjizat Gerakan Shalat. Jakarta: Qultum Media.
Subekti, I. 2011. Prinsip dan Strategi Edukasi Diabetes dalam Mardani, R.A. Penatalaksanaan Diabetes Mellitus Terpadu. Jakarta: Balai Penerbit FK UI.
Waspadji, S. 2011. Diabetes Mellitus, Penyulit Kronik, dan Pencegahannya dalam Mardani, R.A. Penatalaksanaan Diabetes Mellitus Terpadu. Jakarta: Balai Penerbit FK UI.




             
            

No comments:

Post a Comment